Dilombakan
dalam Festival Dalang DULONGMAS III tahun 2014 di Kabupaten Tegal, sebagai
juara 1.
TRANSFORMASI
BENTUK PAGELARAN WAYANG KULIT
Dramatisasi Mulai Terpinggirkan
Seni
sebagai suatu bentuk ekspresi seniman, memiliki sifat-sifat kreatif, emosional,
individual, abadi dan universal. Sesuai dengan salah satu sifat seni yakni
kreatif, maka seni sebagai kegiatan manusia selalu melahirkan kreasi-kreasi
baru, mengikuti nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Seni juga menjadi
sarana luapan emosi seseorang berupa karya yang dapat dinikmati oleh khalayak.
Luapan emosi tersebut dapat berupa gambar, musik, tarian, patung, dan lain
sebagainya. Keberadaan seni itu sendiri selalu berkembang dari masa ke masa.
Demikian
pula yang terjadi pada seni wayang kulit purwa. Pagelaran wayang kulit
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Beberapa barometer yang digunakan
untuk mengukur perkembangan tersebut diantaranya dari aspek sarana dan
prasarana. Disini termasuk instrumen, peralatan, dan media lainnya. Sebagai
contoh eksistensi blencong sebagai
alat penerang yang sebelumnya menggunakan lampu minyak, kini menggunakan lampu
listrik, yang dinilai lebih praktis dan efisien. Apalagi bisa digunakan sebagai
lighting effect untuk mendukung
suasana panggung dengan pewarnaan yang bervariasi pada tiap adegan. Contohnya
warna merah untuk suasana marah atau api yang membakar, warna redup untuk
menggambarkan alam mimpi atau alam lain, warna biru untuk lautan dan masih
banyak lainnya.
Mulai
digunakannya juga alat musik modern seperti simbal, biola, gitar, dan drum
dipadukan dengan alat musik tradisional gamelan semakin melengkapi hiruk pikuk
pagelaran yang sebelumnya tidak bisa dibunyikan dengan gamelan. Contohnya
fenomena alam seperti petir, angin, ombak, gemericik air dan lain sebagainya.
Masih banyak lagi perkembangan dalam sebuah pagelaran wayang kulit yang
tentunya akan memudahkan seorang dalang untuk membawakan cerita.
Namun
ada satu sisi dalam pagelaran wayang kulit yang tidak berjalan seirama dengan
perkembangan aspek lain, seakan jalan ditempat saja. Yaitu pada aspek
dramatisasi. Dramatisasi (pendramaan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah penyesuaian cerita untuk pertunjukan
sandiwara. Dramatisasi disini memberi ruh pada jalan cerita yang disampaikan
dalang dan membuat penonton ikut larut dalam suasana yang sedang terjadi.
Misalnya saat sedang sedih, gembira, haru, emosi, sengsem, dan perasaan – perasaan lain yang mampu mengaduk alam rasa
dari tiap penonton. Dramatisasi memberi kesan mendalam bagi penikmat wayang
yang akan membekas meski pagelaran sudah selesai.
Hingga
pada hari ketiga Festival Dulongmas III ini, sangat sulit menemukan dalang yang
mampu membawakan aspek dramatisasi secara maksimal. Kebanyakan dari mereka
lebih mengutamakan unsur sabet pada
wayang. Sabet merupakan semua bentuk ekspresi
dalang
lewat gerak
wayang dalam pertunjukan wayang sesuai dengan karakter tokoh dan suasananya. Sabet memang lebih menjanjikan sebagai cara praktis
supaya penonton tertarik untuk tidak beranjak dari panggung pagelaran.
Kepiawaian dalang dalam menggerakkan wayang akan membuat penonton bersorak ketika adegan perang, dalang bisa
memainkan wayang seperti tokoh dalam film aksi yang sedang bertarung.
(Murtiyoso, 2007 : 29)
Bandingkan
dengan dramatisasi, diperlukan banyak cara agar penonton bisa memahami dan
menikmati aspek ini. Kendala bahasa menjadi alasan yang paling umum, tidak
banyak penikmat wayang yang 100% memahami apa yang diucapkan dalang, apalagi
ketika menggunakan sastra pedalangan yang tinggi. Kendala lain adalah tidak
semua dalang memiliki kemampuan untuk mendramatisir sebuah adegan. Bagaimanapun
dalang-dalang muda era sekarang ini adalah dalang generasi televisi, generasi
visual, yang terobsesi pada tampilan dan kelincahan memainkan wayang dengan
mengandalkan sabet yang heroik. Mereka berkiblat pada dalang – dalang yang
memiliki kemampuan sabet diatas rata-rata seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Bayu
Aji Pamungkas, Ki Sudir Ronggo Darsono, dan masih banyak dalang lain. Sehingga
persepsi masyarakat kini lebih tertarik pada dalang yang terampil menggerakkan
wayang.
Jika kita
menoleh ke belakang, pada tahun 70-an dan 80-an hingga awal 90-an, pagelaran
wayang masih menjadi primadona lewat siaran radio. Penonton akan berdiam dengan
tenang di depan radio sambil mendengarkan cerita yang dibawakan dalang. Mereka
mendengarkan secara seksama, menghayati, hingga merefleksikan pada dirinya
sendiri. Maka kemampuan mendramatisir menjadi sangat penting bagi seorang
dalang. Pembawaan cerita dari dalang akan membawa penonton ikut membayangkan
adegan yang terjadi, merasakan kesedian, ketegangan, kasmaran, dan luapan emosi yang ada dalam cerita. Tentu kita
mengenal maestro pedalangan seperti Ki Nartosabdo, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki
Sugino Siswocarito, dan sejumlah dalang generasi seangkatan mereka yang begitu
piawai mengaduk – aduk perasaan pendengar dengan dramatisasi yang mereka
bawakan.
Transformasi
dari segi audio ke visual sedikit banyak telah menggeser persepsi masyarakat.
Mereka lebih suka menonton pagelaran wayang yang ramai, banyak adegan perang,
dan banyak hiburan. Seakan tidak mempedulikan lagi isi cerita, bobot petuah dan
ajaran yang ada didalamnya. Maka pada beberapa generasi mendatang pagelaran
wayang hanya akan menjadi tontonan yang mengedepankan sisi estetika, tidak lagi
memuat sisi tuntunan yang edukatif.
Kita
mungkin sekarang tidak bisa lagi ikut merasakan bagaimana campur aduknya hati Boma Nara Kasura ketika mengetahui Samba dan Hagnyanawati ternyata saling mencintai, atau kebimbangan Adipati Karna yang harus menghadapi Arjuna dalam ganasnya Bharatayuda, atau gundahnya hati Salya tatkala meninggalkan istrinya, Setyawati yang masih tertidur pulas
didekapannya, untuk menyongsong maut di medan laga. Ya sepertinya itu menjadi
suatu barang langka yang akan sangat sulit kita dapatkan lagi. Namun pelita
harapan masih tetap harus dinyalakan sembari berharap transformasi bentuk
pertunjukkan wayang yang adiluhung ini juga merambah ranah dramatisasi.