Senin, 08 Desember 2014

TRANSFORMASI BENTUK PAGELARAN WAYANG KULIT : Dramatisasi Mulai Terpinggirkan



Dilombakan dalam Festival Dalang DULONGMAS III tahun 2014 di Kabupaten Tegal, sebagai juara 1.





TRANSFORMASI BENTUK PAGELARAN WAYANG KULIT
Dramatisasi Mulai Terpinggirkan


Seni sebagai suatu bentuk ekspresi seniman, memiliki sifat-sifat kreatif, emosional, individual, abadi dan universal. Sesuai dengan salah satu sifat seni yakni kreatif, maka seni sebagai kegiatan manusia selalu melahirkan kreasi-kreasi baru, mengikuti nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Seni juga menjadi sarana luapan emosi seseorang berupa karya yang dapat dinikmati oleh khalayak. Luapan emosi tersebut dapat berupa gambar, musik, tarian, patung, dan lain sebagainya. Keberadaan seni itu sendiri selalu berkembang dari masa ke masa.

Demikian pula yang terjadi pada seni wayang kulit purwa. Pagelaran wayang kulit mengalami perkembangan yang cukup pesat. Beberapa barometer yang digunakan untuk mengukur perkembangan tersebut diantaranya dari aspek sarana dan prasarana. Disini termasuk instrumen, peralatan, dan media lainnya. Sebagai contoh eksistensi blencong sebagai alat penerang yang sebelumnya menggunakan lampu minyak, kini menggunakan lampu listrik, yang dinilai lebih praktis dan efisien. Apalagi bisa digunakan sebagai lighting effect untuk mendukung suasana panggung dengan pewarnaan yang bervariasi pada tiap adegan. Contohnya warna merah untuk suasana marah atau api yang membakar, warna redup untuk menggambarkan alam mimpi atau alam lain, warna biru untuk lautan dan masih banyak lainnya.

Mulai digunakannya juga alat musik modern seperti simbal, biola, gitar, dan drum dipadukan dengan alat musik tradisional gamelan semakin melengkapi hiruk pikuk pagelaran yang sebelumnya tidak bisa dibunyikan dengan gamelan. Contohnya fenomena alam seperti petir, angin, ombak, gemericik air dan lain sebagainya. Masih banyak lagi perkembangan dalam sebuah pagelaran wayang kulit yang tentunya akan memudahkan seorang dalang untuk membawakan cerita.

Namun ada satu sisi dalam pagelaran wayang kulit yang tidak berjalan seirama dengan perkembangan aspek lain, seakan jalan ditempat saja. Yaitu pada aspek dramatisasi. Dramatisasi (pendramaan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyesuaian cerita untuk pertunjukan sandiwara. Dramatisasi disini memberi ruh pada jalan cerita yang disampaikan dalang dan membuat penonton ikut larut dalam suasana yang sedang terjadi. Misalnya saat sedang sedih, gembira, haru, emosi, sengsem, dan perasaan – perasaan lain yang mampu mengaduk alam rasa dari tiap penonton. Dramatisasi memberi kesan mendalam bagi penikmat wayang yang akan membekas meski pagelaran sudah selesai.



Hingga pada hari ketiga Festival Dulongmas III ini, sangat sulit menemukan dalang yang mampu membawakan aspek dramatisasi secara maksimal. Kebanyakan dari mereka lebih mengutamakan unsur sabet pada wayang. Sabet merupakan semua bentuk ekspresi dalang lewat gerak wayang dalam pertunjukan wayang sesuai dengan karakter tokoh dan suasananya. Sabet memang lebih menjanjikan sebagai cara praktis supaya penonton tertarik untuk tidak beranjak dari panggung pagelaran. Kepiawaian dalang dalam menggerakkan wayang akan membuat penonton  bersorak ketika adegan perang, dalang bisa memainkan wayang seperti tokoh dalam film aksi yang sedang bertarung. (Murtiyoso, 2007 : 29)

Bandingkan dengan dramatisasi, diperlukan banyak cara agar penonton bisa memahami dan menikmati aspek ini. Kendala bahasa menjadi alasan yang paling umum, tidak banyak penikmat wayang yang 100% memahami apa yang diucapkan dalang, apalagi ketika menggunakan sastra pedalangan yang tinggi. Kendala lain adalah tidak semua dalang memiliki kemampuan untuk mendramatisir sebuah adegan. Bagaimanapun dalang-dalang muda era sekarang ini adalah dalang generasi televisi, generasi visual, yang terobsesi pada tampilan dan kelincahan memainkan wayang dengan mengandalkan sabet yang heroik. Mereka berkiblat pada dalang – dalang yang memiliki kemampuan sabet diatas rata-rata seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Bayu Aji Pamungkas, Ki Sudir Ronggo Darsono, dan masih banyak dalang lain. Sehingga persepsi masyarakat kini lebih tertarik pada dalang yang terampil menggerakkan wayang.

Jika kita menoleh ke belakang, pada tahun 70-an dan 80-an hingga awal 90-an, pagelaran wayang masih menjadi primadona lewat siaran radio. Penonton akan berdiam dengan tenang di depan radio sambil mendengarkan cerita yang dibawakan dalang. Mereka mendengarkan secara seksama, menghayati, hingga merefleksikan pada dirinya sendiri. Maka kemampuan mendramatisir menjadi sangat penting bagi seorang dalang. Pembawaan cerita dari dalang akan membawa penonton ikut membayangkan adegan yang terjadi, merasakan kesedian, ketegangan, kasmaran, dan luapan emosi yang ada dalam cerita. Tentu kita mengenal maestro pedalangan seperti Ki Nartosabdo, Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Sugino Siswocarito, dan sejumlah dalang generasi seangkatan mereka yang begitu piawai mengaduk – aduk perasaan pendengar dengan dramatisasi yang mereka bawakan.


Transformasi dari segi audio ke visual sedikit banyak telah menggeser persepsi masyarakat. Mereka lebih suka menonton pagelaran wayang yang ramai, banyak adegan perang, dan banyak hiburan. Seakan tidak mempedulikan lagi isi cerita, bobot petuah dan ajaran yang ada didalamnya. Maka pada beberapa generasi mendatang pagelaran wayang hanya akan menjadi tontonan yang mengedepankan sisi estetika, tidak lagi memuat sisi tuntunan yang edukatif.

Kita mungkin sekarang tidak bisa lagi ikut merasakan bagaimana campur aduknya hati Boma Nara Kasura ketika mengetahui Samba dan Hagnyanawati ternyata saling mencintai, atau kebimbangan Adipati Karna yang harus menghadapi Arjuna dalam ganasnya Bharatayuda, atau gundahnya hati Salya tatkala meninggalkan istrinya, Setyawati yang masih tertidur pulas didekapannya, untuk menyongsong maut di medan laga. Ya sepertinya itu menjadi suatu barang langka yang akan sangat sulit kita dapatkan lagi. Namun pelita harapan masih tetap harus dinyalakan sembari berharap transformasi bentuk pertunjukkan wayang yang adiluhung ini juga merambah ranah dramatisasi.