Senin, 10 November 2014

Minakjinggo, Pemelintiran Sejarah



Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku
          Aku tak kan mempermasalahkan bagaimana pendapat orang. Mereka berhak dan bebas mengemukakan pandangannya terhadapku. Toh semua pengharapan yang aku inginkan kini telah sirna. Mereka - masyarakat dan rakyatmu -  teruslah menganggapku sebagai sosok monster buruk rupa yang haus kekuasaan, pemuda desa tolol dungu yang tak tahu balas budi setelah dijadikan bangsawan dan diberi wilayah kekuasaan, adipati kejam yang suka membuat onar dan gemar menumpahkan darah. Sungguh sangat bertolak belakang dengan pesonamu, seorang Ratu muda yang arif bijaksana, memimpin kerajaan besar nan sejahtera, pribadi yang lembut dan penuh kasih, dan masih banyak lagi sederet sanjungan yang biasa diomongkan orang, atau ditulis di buku sejarah, atau merdunya kidung – kidung kepahlawanan, atau drama pertunjukkan yang menghibur rakyat. Aku tidak akan marah dengan semua ini, karena bagiku, itulah sebenarnya cerminan dirimu, Sang Maharatu Rani Majapahit Wilwatikta, Dyah Kencana Ungu.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

          Ya akulah Adipati Blambangan, Minakjinggo, yang terkenal sebagai musuh utama Majapahit. Seorang adipati bawahan yang mengharapkan tahta, sosok buruk rupa yang mendambakan cinta Sang Ratu Agung. Namun pasti kau masih ingat, ketika kau baru naik tahta menggantikan ayahmu yang mangkat secara mendadak. Umurmu yang masih belasan, menanggung beban tanggung jawab membawahi negeri yang sedang mencapai keemasannya. Majapahit, negeri yang sudah berdiri ratusan tahun dan disegani tidak hanya di Dompo, Haru, Seran, Bakulapura, Tumasik, Bali, Gurun, Swarnadwipa, Jambhudiwipa, hingga Campa, kini dipimpin seorang Ratu muda yang belum berpengalaman. Setiap diri pejabat dan masyarakat Majapahit tentu meragukan kemampuanmu dan bagi rival – rivalmu, menganggap inilah saat yang paling tepat untuk membenamkan Majapahit ke dalam lubang keruntuhan. Seperti Kahuripan ketika Raja Dharmawangsa lengah oleh serangan Raja Wurawari. Seperti Kediri yang runtuh karena Raja Kertajaya terlalu meremehkan Ken Arok. Atau seperti Singasari yang lenyap dari sejarah, karena kepongahan Raja Kertanegara yang telah termabukkan oleh arak.
          Ya pasti masih segar diingatanmu, tatkala tahtamu terancam oleh perbuatan makar seorang pengacau bernama Kebo Marcuet, yang menurut cerita memiliki kesaktian yang luar biasa dan memiliki dua tanduk di kepalanya. Semua prajuritmu kau kerahkan menghadang Kebo Marcuet yang mengamuk di kutaraja, namun tak satupun senapatimu yang berhasil menghalau Kebo Marcuet, bahkan tidak sedikit pahlawan kerajaanmu yang meregang nyawa, tubuhnya terkoyak ditembus tandukan Sang Pembuat Onar. Kebo Marcuet terus merangsek mendekati tempatmu duduk di singgasana, semua pengawalmu telah tewas dank au lari terbirit – birit mencari keselamatan. Tahta dan istanamu kau tinggalkan begitu saja didalam cengkeraman Kebo Marcuet. Tidak kah kau ingat saat itu?


Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

          Di dalam persembunyianmu kau dihadap oleh segenap orang yang masih loyal kepadamu, dengan jumlah yang terlampau sedikit untuk menggempur kutaraja merebut kembali tahtamu. Kau sebarkan sebuah sayembara yang menggemparkan mayapada, barangsiapa yang bisa mengalahkan Kebo Marcuet dan mendudukkanmu kembali ke singgasana, jika wanita akan kau angkat sebagai saudara, jika pria maka akan kau jadikan suami, yang secara otomatis menjadi raja di Majapahit. Tentu kau tidak berpikir panjang ketika mengucapkan itu. Martabat seorang ratu akan turun jika ia dijadikan sebagai hadiah, namun pastinya kau menganggap tahta Majapahit lebih penting, dan kau tidak mau dicap sebagai penguasa terakhir Majapahit yang akan menjadi legenda kelak.
          Tak mudah membuat orang tergiur untuk mengikuti sayembaramu. Bukan karena mereka tak ingin menjadi raja di Majapahit, bukan karena mereka tak ingin menjadi pendamping seorang ratu cantik jelita, bukan pula karena mereka senang kini Majapahit dikuasai Kebo Marcuet. Namun mereka semua berpikir bahwa mereka bukanlah tandingan Kebo Marcuet, mereka masih dihantui peristiwa bagaimana Kebo Marcuet dengan bengisnya membunuh setiap prajurit Majapahit yang hendak melawannya dulu, mereka masih ingat bagaimana banyaknya mayat dengan perut terburai akibat tandukan maut Kebo Marcuet. Berbulan – bulan setelah kau umumkan sayembara, belum ada satupun orang yang mengikutinya. Kau pasti hampir putus asa, ketika ada seorang pemuda datang dan menyatakan kesanggupannya mengahadapi Kebo Marcuet. Bersumpah untuk membunuh Kebo Marcuet atau dia sendirilah yang mati. Dari sorot matamu nampak jelas kau sedikit ragu terhadap pemuda itu. Ya kau meragukan kemampuanku. Memang aku sadar, siapalah Jaka Umbaran, datang dari lereng gunung, baru pertama kali menghadap ratu, belum pernah sebelumnya menginjakkan kaki di kutaraja, namun sudah berani berjanji untuk memenggal leher Kebo Marcuet.    

          Masih terbayang di pelupuk mataku bagaimana saat itu kau memberiku restu melawan pemberontak, kau tersenyum sinis sembari mengangkat sebelah alismu tanda kau tak begitu berharap akan kemampuanku. Namun justru itulah yang membuat semangatku terlecut, tak peduli jika ajal telah menungguku di medan laga nanti. Derap langkahku begitu mantap memasuki halaman istana yang sudah rusak parah itu. Aku berteriak menantang Kebo Marcuet keluar dari peraduannya, meski dengan perasaan bimbang dan takut. Keringatku kian deras ketika samar – samar terlihat sosok tinggi tegap menuruni undakan balairung istana. Badannya begitu kekar, sorot matanya bagai elang melanglang angkasa, kepalanya ditumbuhi dua tanduk yang runcing dan tajam, entah berapa kali tanduk itu telah merenggut nyawa manusia. Kebo Marcuet yang sebelumnya hanya kudengar dari cerita kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatku berdiri. Seakan Hyang Yamadipati telah terbang rendah di atas kepalaku. Kebo Marcuet lantas saja menerkamku, secepat kilat aku menghindar. Serangannya kian membabi buta, beberapa kali ia mengayunkan kepalanya memperlihatkan kehebatan tanduknya. Tampak jelas sekali bagaimana ia sangat bergairah karena sudah lama ia tidak merasakan pergulatan dengan manusia.
          Memang tidak diragukan lagi kesaktian Kebo Marcuet, beberapa kali pukulan – pukulannya mendarat telak di tubuhku. Aku terhuyung tumbang. Dan segera saja monster itu menyiksaku, memperlakukanku sungguh sangat tidak manusiawi. Aku merasakan bagaimana sakitnya ketika punggung kaki kiriku remuk dihantamnya dengan sebongkah batu besar. Aku menggelinjang mengerang kesakitan. Teriakanku tak dihiraukan bahkan ia seperti kesetanan. Dengan menjambak rambutku, ia benturkan wajahku berkali – kali ke tanah. Mukaku hancur, bibirku sobek, hidungku growong. Aku hampir  tak sadarkan diri, kulihat dengan sedikit mata yang masih bisa terbuka, Kebo Marcuet mengambil ancang – ancang untuk menandukku dan menyelesaikan pertarungan ini. Pada saat kritis inilah aku meraih kedua tanduk itu dan dengan sisa tenaga yang kumiliki kuhentakkan dengan keras. Terdengar teriakan yang sangat keras, namun aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tubuhku sangat letih dan seluruh badanku sakit. Aku pingsan.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Kubuka mata. Aku berada dalam sebuah ruang yang tertata rapi, disekelilingku banyak orang dengan pakaian kebesaran kerajaan tersenyum kepadaku sembari mengulurkan tangan bahkan beberapa dari mereka memelukku. Aku baru tersadar bahwa aku berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, namun aku harus membayar mahal kemenangan ini. Tubuhku cacat selamanya. Kakiku pincang. Bibirku sobek menganga lebar seperti mulut hewan. Hidungku growong sehinggu suaraku menjadi sengau. tak apalah, aku menghibur diri, bagaimanapun aku sudah menepati janji dan berhasil melaksanakan tugas. Setelah bebrapa hari memulihkan diri aku dipanggil menghadap ratu, yang kini kembali bertahta dan berdiam di istana megahnya. Dengan terpincang aku berjalan memasuki sidang istana, beberapa pengawal tersenyum, entah mengejek atau menyemangatiku, entahlah aku tak peduli, perhatianku hanya tertuju pada Kencana Ungu. Aku berandai – andai senyuman sinis yang dulu ia perlihatkan sekarang sudah berubah menjadi senyum ramah penuh penghormatan. Namun itu hanya terhenti pada anganku saja, tanpa terduga kau menatapku dengan tatapan kosong, aku bisa mengartikannya sebagai tatapan jijik bahkan ada kesan takut melihat wajahku yang sudah bubrah ini.

Kau memulai sabdamu dengan mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah aku lakukan, namun aku tahu kau sama sekali tidak menatap wajahku. Berikutnya soal janji dan hadiah bagi pemenang sayembara tidak secara langsung dikatakan olehmu, namun melalui pejabat kerajaan yang berdiri di sampingmu. Ia lalu membuka gulungan kertas dan mulai membacakan keputusan ratu yang isinya adalah, penganugerahan dan pengangkatanku sebagai raja ditunda dengan dalih kerajaan masih harus berbenah, demikian pula upacara pernikahanku dengan Kencana Ungu juga ditunda. Untuk sementara aku kau tempatkan di wilayah Blambangan. Dan diangkat menjadi penguasa disana bergelar Adipati Minakjinggo. Jika semua sudah siap aku akan dipanggil menghadap. Aku bukanlah anak kemarin sore Kencana Ungu, aku tahu bahwa ini adalah siasatmu untuk menghindar dariku dan mengingkari janjimu. Aku kau asingkan jauh di ujung timur Jawadwipa sembari menunggu datangnya utusan yang berisi panggilan untuk menghadap.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Belum lama aku berdiam di Blambangan, kudengar desas – desus bahwa aku sedang menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Majapahit. Sungguh tidak masuk akal. Apa guna aku memberontak sedang aku dijanjikan tahta Majapahit ?  untuk apa aku mengerahkan kekuatan sedang aku tinggal menunggu waktu untuk penobatan ? aku tak menanggapi kabar ini secara serius. Namun tidak lama kemudian muncul kabar aneh berikutnya, bahwa Kencana Ungu sedang mempersiapkan kekuatan untuk menggempur Blambangan, aku dituding memberontak ! apakah kau lupa Kencana Ungu bahwa akulah yang memadamkan pemberontakkan Kebo Marcuet dan mendudukkanmu kembali ke tahta ?
Awalnya aku berpikir ini adalah kesalahpahaman atau ada pihak yang sengaja mengadu domba kita, Kencana Ungu. Tapi lama kelamaan kabar yang tadinya kuanggap ngayawara itu mulai menampakkan kebenarannya. Dan kian nyata bahwa kau berusaha menyingkirkanku dengan segala alasan dan tuduhan yang dialamatkan kepadaku. Kau meyakinkan Adipati Siralawe, Penguasa Tuban untuk menyerangku. Namun kau tahu, aku tak menggubrisnya. Aku bertahan dan kuyakinkan diriku untuk tidak maju menghadapi serangannya. Namun orang – orang Tuban itu berbuat picik, mereka mulai menjarah desa dan menyiksa rakyatku yang tak berdosa. Mana mungkin aku diam saja melihat rakyatku dirundung duka nestapa. Dengan berat hati aku melangkah menyongsong Adipati Siralawe. Kuperingatkan dia untuk berhenti berbuat onar dan segera meninggalkan Blambangan.
Namun Siralawe adalah seorang panglima perang patriotik yang akan selalu melaksanakan titah atasannya. Ia segera merangsek menyerangku tanpa menghiraukan peringatanku. Siralawe bukan tandinganku, ia tewas dipertempuran yang tidak aku inginkan. Ia gugur sebagai kusuma bangsa, namun ia juga mati konyol sebagai tumbal kebohonganmu.  

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Aku tidak ingin darah orang tak berdosa kembali tumpah, namun aku juga akan tetap menagih janjimu. Kau seorang pemimpin yang perkataanmu harus kau penuhi. Untuk mengingatkanmu aku menamai diriku dengan gelar Sang Juru Kisma, yang berarti Sang Penjaga Tanah, untuk mengimbangi gelarmu Sri Saba Siti, Sang Pemilik Tanah. Karena aku telah menjaga apa yang kau miliki. Mengembalikan tahta yang kau harapkan. Mempercayai janji yang kau ucapkan.
Pikiran licikmu kembali muncul ketika kau menganggap penggantian nama itu sebagai wujud bahwa aku akan membuat negara tandingan di Blambangan, tandingan dari Majapahitmu. Tapi kau juga sadar, tidak mudah mengalahkanku. Semua panglima, pasukan, pendekar yang kau kirim, tak satupun yang berhasil meringkusku. Hingga kau kembali menggunakan cara itu lagi. Kau umumkan sayembara, barangsiapa yang bisa memenggal kepalaku akan kau serahkan tahta Majapahit berikut kesetiaanmu. Persis seperti sayembara yang dulu kau ucapkan kepadaku. Kembali kau manfaatkan pesonamu untuk mempertahankan tahta Majapahit. Lamat – lamat aku mendengar nama Damarwulan, pemuda dari Desa Paluamba yang bersedia mengikuti sayembara. Pemuda ini seperti cerminan dari diriku dulu, dia pastilah tak tahu apa – apa. Pastilah dia berharap bisa mengalahkanku, mempersembahkan kepalaku, menerima anugerah darimu, ah betapa polosnya dia…

Senin, 03 November 2014

BRUBUH SINGASARI (KERTANEGARA LENA)



NASKAH KETHOPRAK
Lampahan
BRUBUH SINGASARI  ( KERTANEGARA LENA )
          
          ADEGAN 1
          Pasewakan Singasari, Prabu Kertanegara lenggah dhampar, marak sowan Patih Raganatha, Aragani, Wiraraja, Maesa Anabrang, Wijaya, Ardharaja.

P. Kertanegara mbagekaken, sinawung Sekar Sinom :
Kertanegara :                   Sowanmu padha raharja
                                      Matura kepara ngarsi
                                      Kadiparan pawartanya
                                      Majua ing ngarsa mami
Raganatha:                      Sowan kula basuki
                                      Sembah kula mugi konjuk
Wiraraja:                         Sedaya sami raharja
                                      Amung kula atur bekti
Kertanegara  :                 Yen mangkono prayogakna lan matura

Kalajengaken pirembagan.

Kertanegara           : Paman Patih Raganatha, saksampunipun sekeca lenggah,
Keparenga kula badhe nyuwun pawarta bab kahanan saha panguripaning para kawula Singasari.
Raganatha             : Nun inggih anak prabu, awit saking nugrahaning Sang Hyang Widhi dalah kawicaksanan paduka anggenipun nyepeng pusaraning adil ing Singasari, para kawula tansah pinayungan berkahing Gusti, kacihna among tani saged nambut gati panen kanthi kathah, para sodagar layar saged dol tinumbas ingkang linangkung. Malah kepara sami ngaturaken bulubekti, anak prabu.   
Kertanegara           : Mekaten paman, Wiraraja ?
Wiraraja                : Inggih Sang Mahaprabu, samanten ugi para nayakaning praja samya sengkut makarya ngembat watang aputung ngejung kumbala ruwet, mila pantes sinudarsana dening kawula dasih.
Maesa Anabrang    : Dhuh Sang Prabu, dene prawira tamtama tuwin prajurit sami anggegulang olah kanuragan, bela dhiri, saha gelaring perang. Samangsa-mangsa kaginakaken mboten badhe nguciwani.
Kertanegara           : Sokur..Sokur..nek ngono nggonku nyekel bang ijoning peprentahan bisa gawe makmur kawula Singasari. Ewadene menawa ana samubarang kang ora trep, mula kepara gage padha nyaruwe kanggo ngemutake panjenenganingsun.
Raganatha             : Kasinggihan dalem anak prabu. Kula kinten sampun trep sedaya lumampahing peprentahan menika.
Kertanegara           : Inggih man, jalaran kula gadhah pengajeng – ajeng murih Singasari menika langkung kuncara tinimbang rikala jamanipun swargi Rama Wisnuwardhana. Mila kula badhe njembaraken praja kanthi njajah Swarnabhumi.
Raganatha             : Amit sewu ngger, menapa sampun dipunpenggalih malih babagan menika, awit laladan Swarnabhumi taksih wonten kekiyatan ageng inggih menika negari Sriwijaya. Langkung – langkung laladan menika tebih lan kedah nyabrang samudra.
Kertanegara           : Paman, menapa sampeyan ngremehaken dhateng kekiyatan Singasari ? mangka sampeyan mangertos piyambak dereng dangu prajurit Singasari saged numpes mengsah rikala Cayaraja ngraman.
Raganatha             : Mboten ngaten ngger, nanging paduka kedah waspada. Sanes bab ingkang gampil menawi badhe nelukkaken Swarnabhumi.
Wiraraja                : Kepareng matur sinuwun.
Kertanegara           : Piye Wiraraja ?
Wiiraraja                : Nyuwun pangapunten, leres ingkang dipunngendikakaken ki Patih Raganatha. Kejawi menika, menawi prajurit Singasari ngrabasa tanah Malayu, kekiyatan salebeting kraton badhe ringkih. Lan kula kuwatos bilih samangke wonten parangmuka.
Kertanegara           : Heh, anggonku bakal njajah Swarnabhumi kuwi wis nganggo petung. Ora mung pikire bocah wingi sore. Swarnabhumi mono kanggo gapura lumebuning  para sodagar saka manca kang lelayaran lan dedagangan. Menawa kelalon ingsun ngukup Swarnabumi, sakliyane kanggo kemakmuraning kawula, uga bisa kanggo pancatan lehku nggempur negara Mongol ing Tanah Tar-tar.
Aragani                 : Kepareng munjuk atur Sang Prabu.
Kertanegara           : Piye ?
Aragani                 : Ingkang abdi Panji Aragani sanget anggenipun nyengkuyung gegayuhan paduka, badhe kula dhepani kanthi kekiyatan kula. Sampun namung Swarnabhumi senajan ngemperi jagad kula sagah, sedaya kagem kaluhuran lan kuncaraning Singasari.
Kertanegara           : Hhaha..ha.. Bagus..bagus...niki man, senajan tasih mudha nanging nggadhahi wawasan ingkang maju. Mboten kados sampeyan, tuwa nanging kothong, mboten saged damel bombong ati kula. Mung nuturi ora duwe eguh pretikel kang gumathok, mula wiwit saiki kalenggahan patih pangarsa kula suwun lan Aragani dak sengkakake dadi pepatih Singasari. Dene kowe Wiraraja, nadyan blegermu sudira ning nyalimu banci, Singasari ora butuh nayaka kang wedi getih. Kalungguhan demung Amancapraja dak jaluk, lan kowe sumingkira menyang Sumenep. Anabrang ?
M Anabrang          : Cumadhong dhawuh ?
Kertanegara           : Kerigna wadya Singasari, budhala menyang Malayu, aja pisan bali yen durung lebda ing karya.             
M Anabrang          : Namung pengestu paduka ingkang kula suwun.
Kertanegara           : yah, dak pengestoni.

( Maesa Anabrang medal pasilan, mlebet utusan saking Mongol, Meng-khi asmanipun )

Kertanegara           : Iki ana sing sowan, sapa Aragani? Eh, Patih Aragani. Hhaha.. wis Patih saiki kowe yoh..haha..
Aragani                 : Inggih kanjeng, nitik saking busana dalah pasuryanipun, kados piyantun Tiongkok, sinuwun.
Kertanegara           : Iyo..bakal ingsung purba. Heh kisanak, pakulitanmu kuning mripatmu sipit, yen ora kurang pamawasku, kisanakan pawongan saka manca ?
Meng-khi               : Nun inggih sinuwun, dalem Meng-khi utusanipun Sang Maharajadiraja Kaisar Kubhilai Khan saking Mongol.
Kertanegara           : Mongol ? yoh..paran darunane ? apa bakal memitran bab dedagangan utawa bakal sekuton nggempur mungsuh ?
Mengki                  : Mboten sang prabu, namung badhe ngaturaken kintaka. ingkang sepisan salam taklim katur prabu Kertanegara.
Kertanegara           : ya, wis tak tampa.
Mengki                  : Ndungkap kaping kalihipun, Sang Maharaja Kaisar ngajab ratu Jawa sang Kertanegara supaya ngakoni Kaisar Kubhilai Khan pinangka ratu agung,  kudu asung bulubekti lan upeti marang Kaisar.
Kertanegara           : Amung kuwi isining kintaka heh ?
Mengki                  : Inggih sinuwun.
Kertanegara           : Ingsun bakal paring wangsulan, mara nyedhakka Mengki.
Mengki                  : Sendika sinuwun.
( Nalika Mengki sampun caket, Prabu Kertaneagara ngunus keris lan nigas talinganipun Mengki )

Kertanegara           : Iki jalukanmu..!! heh utusan, ngertiya yen Kertanegara ora bakal teluk marang sapa wae kalebu ratumu. Ndang minggata wadhul karo Kaisarmu kang sipit, Kertanegara ora wedi kepara Mongol kang bakal dadi jajahanku.
Mengki                  : Kertanegara, aku mung dhuta utusan parandene kowe nyikara kaya mangkene. Entenana ora gantalan wektu Singasari bakal ajur.

( Mengki medhal )

Raganatha             : Anak prabu..
Kertanegara           : Cukup..!!
( Kertanegara kondur kedhaton, pasewakan dipunbibaraken )    

  ADEGAN 2
( Taman sari Dalem Wirarajan. Abdi juru taman lan para emban sami gegojegan.Dhagelan sacekapipun, lajeng mlebet garwa dalem Arya Wiraraja nama Dyah Rara Nareswari )

Emban                  : Bekti kula konjuk ndara ayu.
Abdi                     : Bekti kula katur.
Nareswari              : Ya tak tanpa paman, biyung. Wis pada ngasoa sawetara.
Emban                  : Inggih ndara ayu, menika nembe mawon bibar benah – benah taman supados mboten mbeyuyut teng mripat.
Abdi                     : Jane rak sing marai taman katon mbeyuyut ditonton yo kowe. Nek ndara ayu sing ana taman yo ditonton katon endah.
Emban                  : We blai, rumangsamu, aku mbiyen yo ora kalah karo ndara ayu.
Abdi                     : Dhek kapan?
Emban                  : Dhek isih enom.
Abdi                     : Halah, wit mbiyen raimu ra malih kok. Isih kaya tumbu bolong. Pawakanmu yo tetep, lemu cendhek, mula nek tuku kathok kaya corong minyak.
Emban                  : Aja ngewak – ngewakke, anggepmu kaya bagus – bagusa dhewe. Praupanmu nek cara wayang kulit kuwi, wis lulang wedhus saya kodanan, halah, ra ngukup blas.
Nareswari              : Wis..wis.. biyung paman, aja padha gojeg wae.
Abdi                     : Nyuwun ngapunten ndara ayu, menika namung mbokmenawi saged nglipur paduka, ingkang sajakipun kok saweg radi bingung.
Emban                  : Inggih ndara menapa wonten ingkang dipunpenggalih?
Nareswari              : Ngene biyung, iki wis bedhug tengange kaya ngene, padatan Kangmas Wiraraja wis kondur. Lha kok saiki durung.
Emban                  : Inggih mboten maiben ndara, wong Kanjeng Wiraraja menika sentana praja, mesthinipun saweg ngrembag bab ingkang wigatos.
Abdi                     : Inggih ndara ayu, ingkang nama pejabat menika nek rapat nggih dangu, malah kalamangsa mboten rampung, nek cara sakniki nggih Deadlock menika.
Emban                  : Apa kuwi? Ra mudeng aku.
Abdi                     : Lha kowe ki ora tau mengikuti perkembangan Fenomena Politik.
Emban                  : Walah, apa maneh kuwi, fenomena-fenomana?
Abdi                     : Kae lho sing gaweane mundhak.
Emban                  : Kuwi Pertamina nyuk.
Nareswari              : Wis..wis..aja udur wae..lho kae kangmas wis kondur..
( Wiraraja mlebet, lenggah jajar kaliyan garwa )
Nareswari              : Sungkem kula katur kangmas.
Wiraraja                : Iya nimas,dak tampa.
Abdi+Emban         : Bekti kula konjuk gusti.
Wiraraja                : Iya paman biyung, kepriye lehmu momong gustimu iki ?
Emban                  : Kalawau saweg ngudaraos dene paduka kanjeng gusti dereng kondur, dene padatan wanci sakmenika sampun.
Abdi                     : Sajakipun kangen gusti.
Wiraraja                : Oo mengkono. Apa bener nimas?
Nareswari              : Inggih, wong wis yahmene kok durung kondur.
Wiraraja                : Yo pancen ing Singasari lagi ana bab mirunggan kang kudu dirembug, mula pun kakang randat anggone kondur.
Nareswari              : Ngaten, tak kira bar mampir nyang ngendi.
Wiraraja                : Lho ora mampir ngendi-ngendi kok. Wong pun kakang iki yen sedelo wae ora cecaketan karo nimas, wes kaya kapang banget.
Nareswari              : Saestu? Mengko mung abang-abang lambe thok.
Wiraraja                : Lha iyo tenan, tresnaku mung kanggo sliramu, kok ya isih sujana wae.
Abdi                     : Ehm..ehm..siit suuiitt...
Emban                  : Ngapa ta? nyela-nyela. Sinuwun lagi ngendikan. Iyig wae.
Nareswari              : Menawi mekaten, mangga kembul dhahar kangmas, sampun kula cawisaken klangenan paduka. Kula mboten purun dhahar menawi mboten kaliyan kangmas.
Abdi                     : Iki lho yu, sing jenenge istri teladhan. Yen kakunge durung kondur ora kersa dhahar. Kudu bareng. Lha nek kowe panganan wae diumpetke, trima bosok timbang dipangan wong liya.
Emban                  : Yo ben. Nek kowe weruh panganan ra iling sapa-sapa. Mbok gaglak ijen.
Wiraraja                : Nimas. Sakdurunge dhahar, mangertiya menawa wiwit saiki pun kakang wis dudu Demung Amancanegara maneh, amarga wis dilorotake kulungguhane pun kakang. Saiki pun kakang mung pangkat adipati Sumenep ing Madura.
Nareswari              : Lha kok saged mekaten kangmas?
Wiraraja                : Iya, jalaran pun kakang ora sarujuk karo panemune sinuwun Kertanegara kang bakal njajah Tanah Malayu.
Nareswari              : Inggih mboten dados menapa kangmas, wong nggih paduka sampun sepuh, wekdal ingkang lodhang kedah kagem manembah dhateng Gusti.
Wiraraja                : Dudu perkara kuwi. Yen drajat pangkat mono mung sandhangane urip, nanging saeba wirangku dene kalorotake kalungguhanku ing ngarepe para nayaka praja liyane kanthi tanpa pakurmatan.
Nareswari              : Lajeng kersa paduka kangmas.
Wiraraja                : Yen utang bandha bisa dibalekake, nanging yen utang wirang labuhe tekan pati. Mula aku prasapa : SINGASARI KUDU RUBUH !!
Nareswari              : Aduh kangmas, mbok nggih sampun. Mboten perlu ngendika mekaten kangmas.
Wiraraja                : Ora menda kanepsonku nimas, durung marem rasaku yen durung kelakon sumpahku. Wis saiki nimas tata-tata boyongan menyang Sumenep. Pun kakang bakal nimbali Wirondaya.
Nareswari              : Inggih kangmas.

( Nareswari, emban, abdi mlebet, Wirondaya medhal )

Wiraraja                :  Majua rene Wirondaya.
Wirondaya            : Kula kanjeng.
Wiraraja                : Ana pakaryan kang abot kanggo kowe. Apa kira-kira kowe saguh ?
Wirondaya            : Pejah gesang kula nderek paduka kanjeng.
Wiraraja                : Bagus, aturna niwala iki marang prabu Jayakatwang ing Kedhiri. Welingku, aja pisan – pisan kadenangan sapa wae, yen nganti gagal, dak pancung sirahmu.
Wirondaya            : Inggih nyuwun pangestu.

( Wirondaya ngasta niwala medal, Wiraraja mlebet )

          ADEGAN 3

( Kraton Kedhiri, Prabu Jayakatwang dipunadhep Patih Jaran Guyang lan senapati Kebo Mundarang pepak andher para sentana, nampi sowanipun utusan saking Arya Wiraraja, pun Wirondaya )


Jayakatwang                    : Jaran Guyang, iki ana kang sowan, apa kowe ngerti sapa ?
Jaran Guyang                  : Nuwun gusti, kula ugi dereng pana.  
Jayakatwang                    : Coba purbanen Jaran Guyang.
Jaran Guyang                  : Dhawuh sinuwun. Heh pawongan, wingking pundi pinangka ngajeng pundi pun sedya, kisanak ?
Wirondaya                      : Wingking saking Wirarajan, sudi amastani kula pun Wirondaya, dene sedya kula badhe ngaturaken niwala saking kanjeng Wiraraja katur sinuwun prabu Jayakatwang.
Jayakatwang                    : Saka kakang Wiraraja ? mara ndang aturna. Apa baya dene sajak wigati.

( Niwala kaparingaken, Prabu Jayakatwang maos kanthi wijang )

Jayakatwang                    : ” Sang Nata amba tur wikan, yen paduka karsa ambereg lit nguni, mring pategalan lawas, prayogine linakyan samangkin, mumpung nuju ing mansa prayoga, tan na walang salisike, tan woten bajulipun, sima sepen banthengira wis, eri tanapi sarpa, tanana sadarum, wonten uga samanira, mung sayuga nanging wus ompong tan nggigit, mung mataken turira ”
                                      Hhaha..haha..ha..hheahaa..
Kebo Mundarang            : Wonten menapa sinuwun dene paduka gumujeng lakak-lakak ?
Jayakatwang                    : Hhaha..Kebo Mundarang, yo saiki Kedhiri bakal ngrebut panguwasa.
Jaran Guyang                  : Kanthi dhasar menapa sinuwun ngendika mekaten ?
Jayakatwang                    : Kakang Wiraraja asung sasmita menawa Singasari saiki lagi ringkih. Mula aja wedi kangelan, ketabna wadya bala Kedhiri.
Wadya Bala                    : Sendika dhawuh.
Jayakatwang                    : Kebo Mundarang, bidhungen prajurit Singasari saka kidul, yen wis kabidhung ingsun lan Jaran Guyang nggempur Singasari saka lor.
Kebo Mundarang            : Kepareng madal pasilan sinuwun.
Jayakatwang                    : Sing ngati-ati.

( Sedaya sami medhal )

ADEGAN 4

( pesanggrahan tapal wates sisih kidul Singasari. Raden Wijaya pirembagan kaliyan Sora, Nambi, lan Lawe saha para prajurit )
Wijaya                            : Kakang Sora, miturut telik sandhi, prabu Jayakatwang ing Kedhiri bakal merong kampuh jingga tegese mbrontak marang rama prabu Kertanegara.
Sora                               : Menapa sampun saestu? Kula kinten prabu Jayakatwang menika besanan kaliyan sinuwun Kertanegara.
Wijaya                            : Pancen mangkono. Mula aku durung bisa mestekake lan durung munjuk atur marang rama prabu.
Lawe                              : Nanging sampun ngantos raden Wijaya linggar ing kaprayitnan.
Wijaya                            : Bener aturmu dhimas, nadyan isih sedulur nanging ngenani bab kalungguhan sok kalamangsa padha jegal-jegalan.
Nambi                             : Inggih raden, lan menawi saestu Kedhiri badhe mbalela, sanget mbebayani awit kekiyatan Singasari saweg ringkih.
Wijaya                            : Mengkono uga kang ana pikirku. Nanging dak jaluk aja padha cilik atimu, semangsa mangsa ana mungsuh kudu tetep dipethukake.
Wadya Bala                     : Inggih...inggih...
( Kepireng swara getaping prajuring Kedhiri, mrepegi pesanggrahan )
Wijaya                            : Mandheg. Ora weruh ing budi. Heh wong Kedhiri, balia.
Kebo Mundarang             : Wijaya..aja kakean wuwus..

( dados perang amuk-amukan, prajurit Kedhiri kawon, lajeng mlajar dipunoyak dening prajurit Singosari )


          ADEGAN 5

( Kraton Singasari sampun jebol saking sisih ler, prajurit Singasari dipunpandhegani Ardharaja mengsah Prabu Jayakatwang lan Patih Jaran Guyang. Dados caturan )

Jayakatwang                    : Ardharaja, anakku ngger.
Ardharaja                        : Kanjeng rama, nadyan paduka ingkang ngukir jiwa raga kula, nanging kula minangka senapati Singasari kedah netepi jiwa kasatriyan.
Jayakatwang                    : apa ya klakon kowe bakal tega karo bapakmu dhewe? Mangka ingsun nduwe gegayuhan mulyakake sliramu ngger.
Ardharaja                        : Nanging rama.
Jayakatwang                    : Apa kowe ora runtik wangsa Kedhiri dadi telukkane dharah Singasari kang mung turun saka Begal Ken Arok ? Apa kowe ora kepengin Praja Kedhiri kuncara maneh kaya duk rikala prabu Jayabaya?
Jaran Guyang                  : Nakmas Ardharaja, mangga kula aturi wangsul lan manunggal kaliyan Kedhiri, mbudidaya sesarengan keng rama.

( Ardharaja legeg jroning manah, nanging maksih abot ingkang rama )

Ardharaja                        : Menawi mekaten kula namung ndherek paduka rama.
Jayakatwang                    : Aduh putraku, yo kuwi sing jenenge anak anung anindhita.

( Prajurit Kedhiri lajeng mlebet kedhaton Singasari )

ADEGAN 6

( Ing Kedhaton Singasari, Prabu Kertanegara nginum tuak lan ciu dipun adhep Prameswari miwah para putri )

Prameswari                     : Mbok sampun sinuwun, menika lho pasuryanipun sampun abrit.
Kertanegara                     : Yayi ratu, tambahana maneh.
Prameswari                     : lho rak apa, malah tandhuk.
Putri                               : Kanjeng rama, tiyang mendem menika mboten sae.
Kertanegara                     : hhaha..hmm..nek aku ora mendem,ora bakal ana kowe,hmmhm..
Prameswari                     : Paduka menika lho, ngendikanipun sampun ngelantur.
Kertanegara                     : Nyatane rak ngono to.
Prameswari                     : Menawi kepireng para emban rak nggih lingsem sinuwun.
Kertanegara                     : Hahaha...silirna maneh yayi ratu...iki wis kothok unjukanku.

( Dumadhakan Patih Aragani mlebet Kedhaton )

Aragani                           : Kedrawasan sinuwun,kedrawasan.
Kertanegara                     : Hmm...iki sapa ya?
Aragani                           : Kula pun abdi Aragani sinuwun.
Kertanegara                     : Oh, kowe..kene-kene ngombe bareng aku.
Aragani                           : Aduh sinuwun, Singasari bedhah, prabu Jayakatwang mbalela, malah sampun badhe mlebet Kedhaton.
Kertanegara                     : Heh, kowe ngomong apa. Ora cetha
Aragani                           : Jayakatwang mbalela, Singasari sampun bedhah, mangga kula aturi ngungsi kemawon sinuwun.
Kertanegara                     : Hah, ora ngandel. Jayakatwang kuwi besanku, mabuk kowe yaa.
Aragani                           : Saestu Gusti, kula matur presajan.

( Jayakatwang dalah prajurit mlebet kedhaton, Patih Aragani tiwas kakroyok )

Kertanegara                     : Jayakatwang to iki, kok ora cecala luwih dhisik bakal teka,heh.
Jayakatwang                    : Endah-endah raja goblok, iki patihmu wis modar, sedela engkas kowe yo ngono. Malah mendhem
Kertanegara                     : Kene-kene ngunjuk yayi prabu.
Jayakatwang                    : Mati kowe..!!
( Jayakatwang ngunus keris katancepaken dhadhane Kertanegara, pejah sanalika )