Biarlah semua orang
menghujatku
Biarlah semua orang
mengutukku
Aku tak kan mempermasalahkan bagaimana pendapat orang.
Mereka berhak dan bebas mengemukakan pandangannya terhadapku. Toh semua
pengharapan yang aku inginkan kini telah sirna. Mereka - masyarakat dan
rakyatmu - teruslah menganggapku sebagai
sosok monster buruk rupa yang haus kekuasaan, pemuda desa tolol dungu yang tak
tahu balas budi setelah dijadikan bangsawan dan diberi wilayah kekuasaan,
adipati kejam yang suka membuat onar dan gemar menumpahkan darah. Sungguh
sangat bertolak belakang dengan pesonamu, seorang Ratu muda yang arif bijaksana,
memimpin kerajaan besar nan sejahtera, pribadi yang lembut dan penuh kasih, dan
masih banyak lagi sederet sanjungan yang biasa diomongkan orang, atau ditulis
di buku sejarah, atau merdunya kidung – kidung kepahlawanan, atau drama
pertunjukkan yang menghibur rakyat. Aku tidak akan marah dengan semua ini,
karena bagiku, itulah sebenarnya cerminan dirimu, Sang Maharatu Rani Majapahit Wilwatikta, Dyah Kencana Ungu.
Biarlah semua orang
menghujatku
Biarlah semua orang
mengutukku
Ya akulah Adipati Blambangan, Minakjinggo, yang terkenal sebagai musuh utama Majapahit. Seorang
adipati bawahan yang mengharapkan tahta, sosok buruk rupa yang mendambakan
cinta Sang Ratu Agung. Namun pasti kau masih ingat, ketika kau baru naik tahta
menggantikan ayahmu yang mangkat secara mendadak. Umurmu yang masih belasan,
menanggung beban tanggung jawab membawahi negeri yang sedang mencapai
keemasannya. Majapahit, negeri yang sudah berdiri ratusan tahun dan disegani
tidak hanya di Dompo, Haru, Seran,
Bakulapura, Tumasik, Bali, Gurun, Swarnadwipa, Jambhudiwipa, hingga Campa, kini dipimpin seorang Ratu muda
yang belum berpengalaman. Setiap diri pejabat dan masyarakat Majapahit tentu meragukan
kemampuanmu dan bagi rival – rivalmu, menganggap inilah saat yang paling tepat
untuk membenamkan Majapahit ke dalam lubang keruntuhan. Seperti Kahuripan ketika Raja Dharmawangsa lengah oleh serangan Raja Wurawari. Seperti Kediri
yang runtuh karena Raja Kertajaya
terlalu meremehkan Ken Arok. Atau
seperti Singasari yang lenyap dari
sejarah, karena kepongahan Raja
Kertanegara yang telah termabukkan oleh arak.
Ya pasti masih segar diingatanmu, tatkala tahtamu terancam
oleh perbuatan makar seorang pengacau bernama Kebo Marcuet, yang menurut cerita memiliki kesaktian yang luar
biasa dan memiliki dua tanduk di kepalanya. Semua prajuritmu kau kerahkan
menghadang Kebo Marcuet yang mengamuk di kutaraja, namun tak satupun senapatimu
yang berhasil menghalau Kebo Marcuet, bahkan tidak sedikit pahlawan kerajaanmu
yang meregang nyawa, tubuhnya terkoyak ditembus tandukan Sang Pembuat Onar.
Kebo Marcuet terus merangsek mendekati tempatmu duduk di singgasana, semua
pengawalmu telah tewas dank au lari terbirit – birit mencari keselamatan. Tahta
dan istanamu kau tinggalkan begitu saja didalam cengkeraman Kebo Marcuet. Tidak
kah kau ingat saat itu?
Biarlah semua orang
menghujatku
Biarlah semua orang
mengutukku
Di dalam persembunyianmu kau dihadap oleh segenap orang
yang masih loyal kepadamu, dengan jumlah yang terlampau sedikit untuk
menggempur kutaraja merebut kembali tahtamu. Kau sebarkan sebuah sayembara yang
menggemparkan mayapada, barangsiapa yang bisa mengalahkan Kebo Marcuet dan
mendudukkanmu kembali ke singgasana, jika wanita akan kau angkat sebagai
saudara, jika pria maka akan kau jadikan suami, yang secara otomatis menjadi
raja di Majapahit. Tentu kau tidak berpikir panjang ketika mengucapkan itu.
Martabat seorang ratu akan turun jika ia dijadikan sebagai hadiah, namun
pastinya kau menganggap tahta Majapahit lebih penting, dan kau tidak mau dicap
sebagai penguasa terakhir Majapahit yang akan menjadi legenda kelak.
Tak mudah membuat orang tergiur untuk mengikuti
sayembaramu. Bukan karena mereka tak ingin menjadi raja di Majapahit, bukan
karena mereka tak ingin menjadi pendamping seorang ratu cantik jelita, bukan
pula karena mereka senang kini Majapahit dikuasai Kebo Marcuet. Namun mereka
semua berpikir bahwa mereka bukanlah tandingan Kebo Marcuet, mereka masih dihantui
peristiwa bagaimana Kebo Marcuet dengan bengisnya membunuh setiap prajurit
Majapahit yang hendak melawannya dulu, mereka masih ingat bagaimana banyaknya
mayat dengan perut terburai akibat tandukan maut Kebo Marcuet. Berbulan – bulan
setelah kau umumkan sayembara, belum ada satupun orang yang mengikutinya. Kau
pasti hampir putus asa, ketika ada seorang pemuda datang dan menyatakan
kesanggupannya mengahadapi Kebo Marcuet. Bersumpah untuk membunuh Kebo Marcuet
atau dia sendirilah yang mati. Dari sorot matamu nampak jelas kau sedikit ragu
terhadap pemuda itu. Ya kau meragukan kemampuanku. Memang aku sadar, siapalah Jaka Umbaran, datang dari lereng gunung,
baru pertama kali menghadap ratu, belum pernah sebelumnya menginjakkan kaki di
kutaraja, namun sudah berani berjanji untuk memenggal leher Kebo Marcuet.
Masih terbayang di pelupuk mataku bagaimana saat itu kau
memberiku restu melawan pemberontak, kau tersenyum sinis sembari mengangkat
sebelah alismu tanda kau tak begitu berharap akan kemampuanku. Namun justru
itulah yang membuat semangatku terlecut, tak peduli jika ajal telah menungguku
di medan laga nanti. Derap langkahku begitu mantap memasuki halaman istana yang
sudah rusak parah itu. Aku berteriak menantang Kebo Marcuet keluar dari
peraduannya, meski dengan perasaan bimbang dan takut. Keringatku kian deras
ketika samar – samar terlihat sosok tinggi tegap menuruni undakan balairung
istana. Badannya begitu kekar, sorot matanya bagai elang melanglang angkasa,
kepalanya ditumbuhi dua tanduk yang runcing dan tajam, entah berapa kali tanduk
itu telah merenggut nyawa manusia. Kebo Marcuet yang sebelumnya hanya kudengar
dari cerita kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatku berdiri.
Seakan Hyang Yamadipati telah terbang
rendah di atas kepalaku. Kebo Marcuet lantas saja menerkamku, secepat kilat aku
menghindar. Serangannya kian membabi buta, beberapa kali ia mengayunkan
kepalanya memperlihatkan kehebatan tanduknya. Tampak jelas sekali bagaimana ia
sangat bergairah karena sudah lama ia tidak merasakan pergulatan dengan
manusia.
Memang tidak diragukan lagi kesaktian Kebo Marcuet,
beberapa kali pukulan – pukulannya mendarat telak di tubuhku. Aku terhuyung
tumbang. Dan segera saja monster itu menyiksaku, memperlakukanku sungguh sangat
tidak manusiawi. Aku merasakan bagaimana sakitnya ketika punggung kaki kiriku
remuk dihantamnya dengan sebongkah batu besar. Aku menggelinjang mengerang
kesakitan. Teriakanku tak dihiraukan bahkan ia seperti kesetanan. Dengan
menjambak rambutku, ia benturkan wajahku berkali – kali ke tanah. Mukaku
hancur, bibirku sobek, hidungku growong. Aku hampir tak sadarkan diri, kulihat dengan sedikit
mata yang masih bisa terbuka, Kebo Marcuet mengambil ancang – ancang untuk
menandukku dan menyelesaikan pertarungan ini. Pada saat kritis inilah aku
meraih kedua tanduk itu dan dengan sisa tenaga yang kumiliki kuhentakkan dengan
keras. Terdengar teriakan yang sangat keras, namun aku tidak tahu apa yang
terjadi selanjutnya. Tubuhku sangat letih dan seluruh badanku sakit. Aku
pingsan.
Biarlah semua orang
menghujatku
Biarlah semua orang
mengutukku
Kubuka
mata. Aku berada dalam sebuah ruang yang tertata rapi, disekelilingku banyak
orang dengan pakaian kebesaran kerajaan tersenyum kepadaku sembari mengulurkan
tangan bahkan beberapa dari mereka memelukku. Aku baru tersadar bahwa aku
berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, namun aku harus membayar mahal kemenangan
ini. Tubuhku cacat selamanya. Kakiku pincang. Bibirku sobek menganga lebar
seperti mulut hewan. Hidungku growong sehinggu suaraku menjadi sengau. tak
apalah, aku menghibur diri, bagaimanapun aku sudah menepati janji dan berhasil
melaksanakan tugas. Setelah bebrapa hari memulihkan diri aku dipanggil
menghadap ratu, yang kini kembali bertahta dan berdiam di istana megahnya.
Dengan terpincang aku berjalan memasuki sidang istana, beberapa pengawal
tersenyum, entah mengejek atau menyemangatiku, entahlah aku tak peduli,
perhatianku hanya tertuju pada Kencana Ungu. Aku berandai – andai senyuman
sinis yang dulu ia perlihatkan sekarang sudah berubah menjadi senyum ramah
penuh penghormatan. Namun itu hanya terhenti pada anganku saja, tanpa terduga
kau menatapku dengan tatapan kosong, aku bisa mengartikannya sebagai tatapan
jijik bahkan ada kesan takut melihat wajahku yang sudah bubrah ini.
Kau
memulai sabdamu dengan mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah aku
lakukan, namun aku tahu kau sama sekali tidak menatap wajahku. Berikutnya soal
janji dan hadiah bagi pemenang sayembara tidak secara langsung dikatakan
olehmu, namun melalui pejabat kerajaan yang berdiri di sampingmu. Ia lalu
membuka gulungan kertas dan mulai membacakan keputusan ratu yang isinya adalah,
penganugerahan dan pengangkatanku sebagai raja ditunda dengan dalih kerajaan
masih harus berbenah, demikian pula upacara pernikahanku dengan Kencana Ungu
juga ditunda. Untuk sementara aku kau tempatkan di wilayah Blambangan. Dan
diangkat menjadi penguasa disana bergelar Adipati Minakjinggo. Jika semua sudah
siap aku akan dipanggil menghadap. Aku bukanlah anak kemarin sore Kencana Ungu,
aku tahu bahwa ini adalah siasatmu untuk menghindar dariku dan mengingkari
janjimu. Aku kau asingkan jauh di ujung timur Jawadwipa sembari menunggu datangnya utusan yang berisi panggilan
untuk menghadap.
Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku
Belum
lama aku berdiam di Blambangan, kudengar desas – desus bahwa aku sedang
menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Majapahit. Sungguh tidak masuk akal.
Apa guna aku memberontak sedang aku dijanjikan tahta Majapahit ? untuk apa aku mengerahkan kekuatan sedang aku
tinggal menunggu waktu untuk penobatan ? aku tak menanggapi kabar ini secara
serius. Namun tidak lama kemudian muncul kabar aneh berikutnya, bahwa Kencana
Ungu sedang mempersiapkan kekuatan untuk menggempur Blambangan, aku dituding
memberontak ! apakah kau lupa Kencana Ungu bahwa akulah yang memadamkan pemberontakkan
Kebo Marcuet dan mendudukkanmu kembali ke tahta ?
Awalnya
aku berpikir ini adalah kesalahpahaman atau ada pihak yang sengaja mengadu
domba kita, Kencana Ungu. Tapi lama kelamaan kabar yang tadinya kuanggap
ngayawara itu mulai menampakkan kebenarannya. Dan kian nyata bahwa kau berusaha
menyingkirkanku dengan segala alasan dan tuduhan yang dialamatkan kepadaku. Kau
meyakinkan Adipati Siralawe, Penguasa
Tuban untuk menyerangku. Namun kau tahu, aku tak menggubrisnya. Aku bertahan
dan kuyakinkan diriku untuk tidak maju menghadapi serangannya. Namun orang –
orang Tuban itu berbuat picik, mereka mulai menjarah desa dan menyiksa rakyatku
yang tak berdosa. Mana mungkin aku diam saja melihat rakyatku dirundung duka
nestapa. Dengan berat hati aku melangkah menyongsong Adipati Siralawe. Kuperingatkan
dia untuk berhenti berbuat onar dan segera meninggalkan Blambangan.
Namun
Siralawe adalah seorang panglima perang patriotik yang akan selalu melaksanakan
titah atasannya. Ia segera merangsek menyerangku tanpa menghiraukan
peringatanku. Siralawe bukan tandinganku, ia tewas dipertempuran yang tidak aku
inginkan. Ia gugur sebagai kusuma bangsa, namun ia juga mati konyol sebagai
tumbal kebohonganmu.
Biarlah semua orang
menghujatku
Biarlah semua orang
mengutukku
Aku
tidak ingin darah orang tak berdosa kembali tumpah, namun aku juga akan tetap
menagih janjimu. Kau seorang pemimpin yang perkataanmu harus kau penuhi. Untuk mengingatkanmu
aku menamai diriku dengan gelar Sang Juru
Kisma, yang berarti Sang Penjaga
Tanah, untuk mengimbangi gelarmu Sri
Saba Siti, Sang Pemilik Tanah. Karena aku telah menjaga apa yang kau
miliki. Mengembalikan tahta yang kau harapkan. Mempercayai janji yang kau
ucapkan.
Pikiran licikmu kembali
muncul ketika kau menganggap penggantian nama itu sebagai wujud bahwa aku akan
membuat negara tandingan di Blambangan, tandingan dari Majapahitmu. Tapi kau
juga sadar, tidak mudah mengalahkanku. Semua panglima, pasukan, pendekar yang
kau kirim, tak satupun yang berhasil meringkusku. Hingga kau kembali
menggunakan cara itu lagi. Kau umumkan sayembara, barangsiapa yang bisa
memenggal kepalaku akan kau serahkan tahta Majapahit berikut kesetiaanmu. Persis
seperti sayembara yang dulu kau ucapkan kepadaku. Kembali kau manfaatkan
pesonamu untuk mempertahankan tahta Majapahit. Lamat – lamat aku mendengar nama
Damarwulan, pemuda dari Desa Paluamba yang bersedia mengikuti
sayembara. Pemuda ini seperti cerminan dari diriku dulu, dia pastilah tak tahu
apa – apa. Pastilah dia berharap bisa mengalahkanku, mempersembahkan kepalaku,
menerima anugerah darimu, ah betapa polosnya dia…
Kelicikan Majapahit ,.penuh intrik akhirnya hancur juga
BalasHapus