Senin, 10 November 2014

Minakjinggo, Pemelintiran Sejarah



Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku
          Aku tak kan mempermasalahkan bagaimana pendapat orang. Mereka berhak dan bebas mengemukakan pandangannya terhadapku. Toh semua pengharapan yang aku inginkan kini telah sirna. Mereka - masyarakat dan rakyatmu -  teruslah menganggapku sebagai sosok monster buruk rupa yang haus kekuasaan, pemuda desa tolol dungu yang tak tahu balas budi setelah dijadikan bangsawan dan diberi wilayah kekuasaan, adipati kejam yang suka membuat onar dan gemar menumpahkan darah. Sungguh sangat bertolak belakang dengan pesonamu, seorang Ratu muda yang arif bijaksana, memimpin kerajaan besar nan sejahtera, pribadi yang lembut dan penuh kasih, dan masih banyak lagi sederet sanjungan yang biasa diomongkan orang, atau ditulis di buku sejarah, atau merdunya kidung – kidung kepahlawanan, atau drama pertunjukkan yang menghibur rakyat. Aku tidak akan marah dengan semua ini, karena bagiku, itulah sebenarnya cerminan dirimu, Sang Maharatu Rani Majapahit Wilwatikta, Dyah Kencana Ungu.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

          Ya akulah Adipati Blambangan, Minakjinggo, yang terkenal sebagai musuh utama Majapahit. Seorang adipati bawahan yang mengharapkan tahta, sosok buruk rupa yang mendambakan cinta Sang Ratu Agung. Namun pasti kau masih ingat, ketika kau baru naik tahta menggantikan ayahmu yang mangkat secara mendadak. Umurmu yang masih belasan, menanggung beban tanggung jawab membawahi negeri yang sedang mencapai keemasannya. Majapahit, negeri yang sudah berdiri ratusan tahun dan disegani tidak hanya di Dompo, Haru, Seran, Bakulapura, Tumasik, Bali, Gurun, Swarnadwipa, Jambhudiwipa, hingga Campa, kini dipimpin seorang Ratu muda yang belum berpengalaman. Setiap diri pejabat dan masyarakat Majapahit tentu meragukan kemampuanmu dan bagi rival – rivalmu, menganggap inilah saat yang paling tepat untuk membenamkan Majapahit ke dalam lubang keruntuhan. Seperti Kahuripan ketika Raja Dharmawangsa lengah oleh serangan Raja Wurawari. Seperti Kediri yang runtuh karena Raja Kertajaya terlalu meremehkan Ken Arok. Atau seperti Singasari yang lenyap dari sejarah, karena kepongahan Raja Kertanegara yang telah termabukkan oleh arak.
          Ya pasti masih segar diingatanmu, tatkala tahtamu terancam oleh perbuatan makar seorang pengacau bernama Kebo Marcuet, yang menurut cerita memiliki kesaktian yang luar biasa dan memiliki dua tanduk di kepalanya. Semua prajuritmu kau kerahkan menghadang Kebo Marcuet yang mengamuk di kutaraja, namun tak satupun senapatimu yang berhasil menghalau Kebo Marcuet, bahkan tidak sedikit pahlawan kerajaanmu yang meregang nyawa, tubuhnya terkoyak ditembus tandukan Sang Pembuat Onar. Kebo Marcuet terus merangsek mendekati tempatmu duduk di singgasana, semua pengawalmu telah tewas dank au lari terbirit – birit mencari keselamatan. Tahta dan istanamu kau tinggalkan begitu saja didalam cengkeraman Kebo Marcuet. Tidak kah kau ingat saat itu?


Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

          Di dalam persembunyianmu kau dihadap oleh segenap orang yang masih loyal kepadamu, dengan jumlah yang terlampau sedikit untuk menggempur kutaraja merebut kembali tahtamu. Kau sebarkan sebuah sayembara yang menggemparkan mayapada, barangsiapa yang bisa mengalahkan Kebo Marcuet dan mendudukkanmu kembali ke singgasana, jika wanita akan kau angkat sebagai saudara, jika pria maka akan kau jadikan suami, yang secara otomatis menjadi raja di Majapahit. Tentu kau tidak berpikir panjang ketika mengucapkan itu. Martabat seorang ratu akan turun jika ia dijadikan sebagai hadiah, namun pastinya kau menganggap tahta Majapahit lebih penting, dan kau tidak mau dicap sebagai penguasa terakhir Majapahit yang akan menjadi legenda kelak.
          Tak mudah membuat orang tergiur untuk mengikuti sayembaramu. Bukan karena mereka tak ingin menjadi raja di Majapahit, bukan karena mereka tak ingin menjadi pendamping seorang ratu cantik jelita, bukan pula karena mereka senang kini Majapahit dikuasai Kebo Marcuet. Namun mereka semua berpikir bahwa mereka bukanlah tandingan Kebo Marcuet, mereka masih dihantui peristiwa bagaimana Kebo Marcuet dengan bengisnya membunuh setiap prajurit Majapahit yang hendak melawannya dulu, mereka masih ingat bagaimana banyaknya mayat dengan perut terburai akibat tandukan maut Kebo Marcuet. Berbulan – bulan setelah kau umumkan sayembara, belum ada satupun orang yang mengikutinya. Kau pasti hampir putus asa, ketika ada seorang pemuda datang dan menyatakan kesanggupannya mengahadapi Kebo Marcuet. Bersumpah untuk membunuh Kebo Marcuet atau dia sendirilah yang mati. Dari sorot matamu nampak jelas kau sedikit ragu terhadap pemuda itu. Ya kau meragukan kemampuanku. Memang aku sadar, siapalah Jaka Umbaran, datang dari lereng gunung, baru pertama kali menghadap ratu, belum pernah sebelumnya menginjakkan kaki di kutaraja, namun sudah berani berjanji untuk memenggal leher Kebo Marcuet.    

          Masih terbayang di pelupuk mataku bagaimana saat itu kau memberiku restu melawan pemberontak, kau tersenyum sinis sembari mengangkat sebelah alismu tanda kau tak begitu berharap akan kemampuanku. Namun justru itulah yang membuat semangatku terlecut, tak peduli jika ajal telah menungguku di medan laga nanti. Derap langkahku begitu mantap memasuki halaman istana yang sudah rusak parah itu. Aku berteriak menantang Kebo Marcuet keluar dari peraduannya, meski dengan perasaan bimbang dan takut. Keringatku kian deras ketika samar – samar terlihat sosok tinggi tegap menuruni undakan balairung istana. Badannya begitu kekar, sorot matanya bagai elang melanglang angkasa, kepalanya ditumbuhi dua tanduk yang runcing dan tajam, entah berapa kali tanduk itu telah merenggut nyawa manusia. Kebo Marcuet yang sebelumnya hanya kudengar dari cerita kini hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatku berdiri. Seakan Hyang Yamadipati telah terbang rendah di atas kepalaku. Kebo Marcuet lantas saja menerkamku, secepat kilat aku menghindar. Serangannya kian membabi buta, beberapa kali ia mengayunkan kepalanya memperlihatkan kehebatan tanduknya. Tampak jelas sekali bagaimana ia sangat bergairah karena sudah lama ia tidak merasakan pergulatan dengan manusia.
          Memang tidak diragukan lagi kesaktian Kebo Marcuet, beberapa kali pukulan – pukulannya mendarat telak di tubuhku. Aku terhuyung tumbang. Dan segera saja monster itu menyiksaku, memperlakukanku sungguh sangat tidak manusiawi. Aku merasakan bagaimana sakitnya ketika punggung kaki kiriku remuk dihantamnya dengan sebongkah batu besar. Aku menggelinjang mengerang kesakitan. Teriakanku tak dihiraukan bahkan ia seperti kesetanan. Dengan menjambak rambutku, ia benturkan wajahku berkali – kali ke tanah. Mukaku hancur, bibirku sobek, hidungku growong. Aku hampir  tak sadarkan diri, kulihat dengan sedikit mata yang masih bisa terbuka, Kebo Marcuet mengambil ancang – ancang untuk menandukku dan menyelesaikan pertarungan ini. Pada saat kritis inilah aku meraih kedua tanduk itu dan dengan sisa tenaga yang kumiliki kuhentakkan dengan keras. Terdengar teriakan yang sangat keras, namun aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tubuhku sangat letih dan seluruh badanku sakit. Aku pingsan.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Kubuka mata. Aku berada dalam sebuah ruang yang tertata rapi, disekelilingku banyak orang dengan pakaian kebesaran kerajaan tersenyum kepadaku sembari mengulurkan tangan bahkan beberapa dari mereka memelukku. Aku baru tersadar bahwa aku berhasil mengalahkan Kebo Marcuet, namun aku harus membayar mahal kemenangan ini. Tubuhku cacat selamanya. Kakiku pincang. Bibirku sobek menganga lebar seperti mulut hewan. Hidungku growong sehinggu suaraku menjadi sengau. tak apalah, aku menghibur diri, bagaimanapun aku sudah menepati janji dan berhasil melaksanakan tugas. Setelah bebrapa hari memulihkan diri aku dipanggil menghadap ratu, yang kini kembali bertahta dan berdiam di istana megahnya. Dengan terpincang aku berjalan memasuki sidang istana, beberapa pengawal tersenyum, entah mengejek atau menyemangatiku, entahlah aku tak peduli, perhatianku hanya tertuju pada Kencana Ungu. Aku berandai – andai senyuman sinis yang dulu ia perlihatkan sekarang sudah berubah menjadi senyum ramah penuh penghormatan. Namun itu hanya terhenti pada anganku saja, tanpa terduga kau menatapku dengan tatapan kosong, aku bisa mengartikannya sebagai tatapan jijik bahkan ada kesan takut melihat wajahku yang sudah bubrah ini.

Kau memulai sabdamu dengan mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah aku lakukan, namun aku tahu kau sama sekali tidak menatap wajahku. Berikutnya soal janji dan hadiah bagi pemenang sayembara tidak secara langsung dikatakan olehmu, namun melalui pejabat kerajaan yang berdiri di sampingmu. Ia lalu membuka gulungan kertas dan mulai membacakan keputusan ratu yang isinya adalah, penganugerahan dan pengangkatanku sebagai raja ditunda dengan dalih kerajaan masih harus berbenah, demikian pula upacara pernikahanku dengan Kencana Ungu juga ditunda. Untuk sementara aku kau tempatkan di wilayah Blambangan. Dan diangkat menjadi penguasa disana bergelar Adipati Minakjinggo. Jika semua sudah siap aku akan dipanggil menghadap. Aku bukanlah anak kemarin sore Kencana Ungu, aku tahu bahwa ini adalah siasatmu untuk menghindar dariku dan mengingkari janjimu. Aku kau asingkan jauh di ujung timur Jawadwipa sembari menunggu datangnya utusan yang berisi panggilan untuk menghadap.

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Belum lama aku berdiam di Blambangan, kudengar desas – desus bahwa aku sedang menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Majapahit. Sungguh tidak masuk akal. Apa guna aku memberontak sedang aku dijanjikan tahta Majapahit ?  untuk apa aku mengerahkan kekuatan sedang aku tinggal menunggu waktu untuk penobatan ? aku tak menanggapi kabar ini secara serius. Namun tidak lama kemudian muncul kabar aneh berikutnya, bahwa Kencana Ungu sedang mempersiapkan kekuatan untuk menggempur Blambangan, aku dituding memberontak ! apakah kau lupa Kencana Ungu bahwa akulah yang memadamkan pemberontakkan Kebo Marcuet dan mendudukkanmu kembali ke tahta ?
Awalnya aku berpikir ini adalah kesalahpahaman atau ada pihak yang sengaja mengadu domba kita, Kencana Ungu. Tapi lama kelamaan kabar yang tadinya kuanggap ngayawara itu mulai menampakkan kebenarannya. Dan kian nyata bahwa kau berusaha menyingkirkanku dengan segala alasan dan tuduhan yang dialamatkan kepadaku. Kau meyakinkan Adipati Siralawe, Penguasa Tuban untuk menyerangku. Namun kau tahu, aku tak menggubrisnya. Aku bertahan dan kuyakinkan diriku untuk tidak maju menghadapi serangannya. Namun orang – orang Tuban itu berbuat picik, mereka mulai menjarah desa dan menyiksa rakyatku yang tak berdosa. Mana mungkin aku diam saja melihat rakyatku dirundung duka nestapa. Dengan berat hati aku melangkah menyongsong Adipati Siralawe. Kuperingatkan dia untuk berhenti berbuat onar dan segera meninggalkan Blambangan.
Namun Siralawe adalah seorang panglima perang patriotik yang akan selalu melaksanakan titah atasannya. Ia segera merangsek menyerangku tanpa menghiraukan peringatanku. Siralawe bukan tandinganku, ia tewas dipertempuran yang tidak aku inginkan. Ia gugur sebagai kusuma bangsa, namun ia juga mati konyol sebagai tumbal kebohonganmu.  

Biarlah semua orang menghujatku
Biarlah semua orang mengutukku

Aku tidak ingin darah orang tak berdosa kembali tumpah, namun aku juga akan tetap menagih janjimu. Kau seorang pemimpin yang perkataanmu harus kau penuhi. Untuk mengingatkanmu aku menamai diriku dengan gelar Sang Juru Kisma, yang berarti Sang Penjaga Tanah, untuk mengimbangi gelarmu Sri Saba Siti, Sang Pemilik Tanah. Karena aku telah menjaga apa yang kau miliki. Mengembalikan tahta yang kau harapkan. Mempercayai janji yang kau ucapkan.
Pikiran licikmu kembali muncul ketika kau menganggap penggantian nama itu sebagai wujud bahwa aku akan membuat negara tandingan di Blambangan, tandingan dari Majapahitmu. Tapi kau juga sadar, tidak mudah mengalahkanku. Semua panglima, pasukan, pendekar yang kau kirim, tak satupun yang berhasil meringkusku. Hingga kau kembali menggunakan cara itu lagi. Kau umumkan sayembara, barangsiapa yang bisa memenggal kepalaku akan kau serahkan tahta Majapahit berikut kesetiaanmu. Persis seperti sayembara yang dulu kau ucapkan kepadaku. Kembali kau manfaatkan pesonamu untuk mempertahankan tahta Majapahit. Lamat – lamat aku mendengar nama Damarwulan, pemuda dari Desa Paluamba yang bersedia mengikuti sayembara. Pemuda ini seperti cerminan dari diriku dulu, dia pastilah tak tahu apa – apa. Pastilah dia berharap bisa mengalahkanku, mempersembahkan kepalaku, menerima anugerah darimu, ah betapa polosnya dia…

1 komentar: