Rabu, 29 Oktober 2014

Salyapharwa : Menyongsong Pusaran Karma



Dhedhep tidhem prabawaning ratri
Sasadara wus manjer kawuryan
Tan kuciwa memanise
Menggep Srinateng ndalu
Siniwaka sanggya pra dhasih
Angglar neng cakrawala
Winulat ngelangut
Prandene paksa kebegan
Saking kehing taranggana kang sumiwi
Warata tanpa sela



Sunyi senyap karena pengaruh malam
Rembulan sudah tampak berpendar
Tidak mengecewakan keelokannya
Bagaikan Sang Raja Malam
Hadir dihadapannya seluruh para kawula
Tergelar di cakrawala
Terlihat menerawang jauh
Namun demikian masih terasa sesak
Sebab banyaknya bintang yang menghadap
Merata rapat tiada berjarak

          Malam kian merambat naik. Cakrawala mulai tertutupi kubah gelap yang terlihat sangat berwibawa. Hening dan senyap seakan semua telah terbius oleh keanggunan malam. Namun ada hati yang sedang bergolak, tatapan matanya nanar, letih dan payah tak dirasakan mesti usia sudah terlampau lanjut. Raja Mandaraka dari Bangsa Madras, Prabu Salya tak jenak untuk memejamkan mata, meski disandingnya telah tertidur dengan pulas Sang Permaisuri Setyawati, sembari menggenggam erat tangan rapuh Sang Raja. Cukup lama sudah Prabu Salya berusaha membujuk dan menidurkan istrinya itu. Kembali ia teringat percakapannya dengan Sang Istri sesaat sebelum ia memasuki Tilamsari Keraton Mandaraka.

          Sore itu Raja Salya baru saja memasuki pintu Keraton ketika disambut Ratu Setyawati. Langkahnya gontai setelah seharian mengikuti rapat agung Kurawa yang sedang meghadapi Pandhawa dalam ganasnya Perang Bharatayuda. Segera saja Ratu mencium tangan raja dan mereka berpelukan.
          “ Apa gerangan yang membuat Kanda Prabu terlambat pulang ? Adakah berita besar yang Kanda bawa ? Ataukah perang sudah berakhir ? Siapakah yang menang ?  “ Setyawati mulai membuka percakapan sembari menggandeng tangan Raja memasuki Keraton. Pertanyaan itu sangat lancar mengalir dari mulut Setyawati karena  hampir setiap Raja pulang selalu itu yang ditanyakan. Ia sangat mengharapkan perang segera berakhir. Baginya Bharatayuda seperti mengiris jari berlandaskan lutut. Kedua pihak yang berperang masih kerabat, Duryudana, sulung Kurawa adalah menantunya, sedang dua Pandawa termuda, Nakula dan Sadewa adalah keponakannya.
          “ Dinda Setyawati, “ jawab Raja pelan, “ memang hari ini Rapat Agung Kurawa berlangsung lama mengingat kegentingan yang sedang terjadi. Perang semakin kejam, kekuatan Kurawa semakin menipis sementara semangat perang pihak Pandawa semakin berkobar dengan keberhasilan mereka menewaskan menantu kita, Karna. “ Menarik nafas dalam - dalam Sang Raja melanjutkan sabdanya, “ Setelah gugurnya Karna, jabatan panglima perang kosong, dan berdasarkan keputusan Rapat Agung, Kandalah yang ditunjuk sebagai panglima, jadi besok pagi Kakanda akan memimpin pasukan menghadapi Para Pandawa. “
          Setyawati tercekat. Wajahnya pucat, bibirnya kelu, langkahnya terhenti. Ia tidak mampu memandangi wajah suaminya, ia hanya tertunduk. Dipelupuk matanya terbayang, suaminya menaiki kereta perang menghunus tombak dengan mayat berserakan di setiap sudut medan perang. Ia sedikitpun tidak pernah meragukan kesaktian suaminya, dikala mudanya dulu Prabu Salya atau Raden Narasoma adalah panglima perang dan peracik strategi perang yang handal. Namun bayangan kematian tentu melingkupi seorang panglima yang sedang berperang, apalagi ini Bharatayuda, perang saudara mahadahsyat. Panglima sekelas Maharesi Bhisma yang tidak bisa mati jika bukan kehendaknya sendiri, atau Mahaguru Drona yang menguasai seluruh seni perang, atau Gatotkaca, pahlawan muda sakti mandraguna, atau Abimanyu yang kemampuannya setara dengan Arjuna, atau yang terbaru Adipati Karna yang mendapatkan perlindungan Dewa Matahari, semuanya telah gugur menjadi korban perang. Apa daya seorang Salya yang sudah berusia lanjut ?
          Melihat gelagat istrinya, Prabu Salya tanggap. Diraihnya tangan Setyawati, ia genggam erat – erat, “ sudahlah Dinda, aku tidak ingin membahas itu. “ sabdanya mencairkan suasana. Lalu ia dudukkan istrinya dan ia juga duduk persis di depan Setyawati yang tampak masih pucat.
          “ Dinda, sudah berapa lama kita berumah tangga ?” Tanya Salya.
          “ Mengapa Kakanda bertanya demikian ? “ Setyawati balik bertanya, masih tetap tidak memandangi wajah suaminya.
          “ Jawab saja Dinda Ratu “ Prabu Salya meyakinkan.
          “ Jika hamba tidak salah menghitung, kita sudah 54 tahun berumah tangga, Kanda Prabu “ jawab Setyawati pelan.
          “ Selama Dinda mendampingi Kanda, pernahkah dinda aku bentak atau aku pukul ? “
          “ Jangankan membentak, apalagi memukul, berbicara keras pun tidak pernah Kanda lakukan terhadap hamba. “ ujar Setyawati sambil membetulkan tempat duduknya.
          “ Syukurlah jika demikian adanya, persis seperti apa yang Kanda janjikan kepada Dinda ketika kita menikah dulu. “
           “ Kanda masih ingat ? “ Tanya Setyawati dengan raut muka heran. Karena sudah lebih dari setengah abad peristiwa itu terjadi.
          “ Tidak hanya ucapan yang Kanda ingat, bahkan pakaian yang kita kenakan juga masih Kanda ingat. Saat itu Kita memakai kain batik Sidomukti dan Sidoluhur. Bukan begitu ? “
          “ Persis apa yang Kanda katakan. Dinda juga masih menyimpan kain itu sampai saat ini, Kanda. Tidak pernah Dinda pakai lagi dan biarlah itu menjadi prasasti bagi kita Kanda Prabu. “ timpal Setyawati.
          Prabu Salya lalu berujar, “ Apa yang diidamkan dari makna kain itu rasanya sudah terpenuhi semua, Dinda. Perkawinan kita sudah mukti dan luhur. Mukti, Kanda dan Dinda sudah terlampau mukti mengenyam manisnya dunia. Kanda sudah menjadi raja di kerajaan yang makmur ini. Sedang kita juga sudah luhur, kita sudah memiliki 5 anak dan banyak cucu. Kelima anak kita sudah menjadi orang, Irawati sudah menjadi dipinang Prabu Baladewa dan menjadi permaisuri Mandura. Surtikanthi menjadi istri Karna dari Awangga, dan Banuwati menjadi permaisuri di Hastina mendampingi Duryudana. Sedang Burisrawa dan Rukmarata . . . “ Prabu Salya terhenti tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ratu Setyawati pun kembali pucat setelah tadi agak mereda. Mereka berdua terdiam. Kedua anak laki – laki yang baru saja disebut namanya telah lama gugur di medan laga ketika awal Bharatayuda berkecambuk.
          Tak enak hati kemudian Prabu Salya mengganti topik pembicaraan, namun kali ini lebih ia seperti bergumam sendiri, “ Suatu kebetulan yang sangat bahwa hari lahir dan weton pasaran kita sama. Kanda lahir pada hari Selasa Wage, demikian pula Dinda Ratu, “ terdiam agak lama Prabu Salya, lalu melanjutkan “ Dinda, datang kita bersama, besok pulang juga harus bersama “
          Segera Setyawati menjatuhkan diri di pangkuan suaminya, tidak ada suara sama sekali. Hanya air mata yang deras mengalir. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan suaminya tak lebih dari kata perpisahan. Prabu Salya terdiam, ia tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia biarkan air mata Setyawati membasahi pakaiannya. Mungkin ini kali terakhir ia bisa bercengkrama dengan istri yang sudah memberinya 5 anak itu. Ada perasaan untuk mengurungkan niatnya dalam berperang esok, karena tak tega ia meninggalkan satu - satunya orang yang selama ini mendampinginya. Namun jiwa ksatrianya bangkit bergelora. Ia tetap harus maju sebagai kusuma bangsa, meski ia juga sadar pihak yang dibelanya adalah pihak yang salah. Dalam hatinya ia mengumpat akan keserakahan para Kurawa yang menjadi sebab pecahnya perang saudara ini. Tapi semua sudah terlanjur, kini ia hanya bisa memapah istrinya memasuki kedhaton dan menidurkannya di ranjang sutra. Dengan terus berusaha menghibur istrinya dengan kata – kata yang indah dan menenteramkan. Tidak menjadi penawar justru semakin deras air mata yang membasahi pipi Setyawati. Letih dan lelah membuat tangisan Setyawati berhenti dan terlelap tidur, namun tangannya masih memegang erat lengan Prabu Salya seakan tak mau dipisahkan.      
           

Myat langening kalangyan       
Lihatlah tarian bintang

Aglar pandam muncar          
Bertabur percikan api

Tinon lir kekonang           
Nampak bagai kunang-kunang
   
Surem sorote tan padhang       
Sinarnya suram tak benderang

Kasor lan pajare            
Terkalahkan cahaya

Purnameng gegana              
Purnama di angkasa

Dasare mangsa ketiga          
Saatnya musim kemarau

Hima hana weng
            
Awan penghias langit

Ing ujung ancala              
Di ujung cakrawala

Asenen karya wigena
           
Membuat hati gembira


Malam semakin larut. Pikiran Prabu Salya semakin jauh mengingat peristiwa 57 tahun yang lalu. Ketika pertama kali  ia bertemu dengan Setyawati, yang saat itu masih bernama Pujawati. Anak dari raksasa Bagaspati, meski ayahnya berwujud raksasa mengerikan, namun Pujawati berparas elok sehingga membuat Pangeran Mandaraka itu dimabuk kepayang. Kesederhanaan dan kepolosan Pujawati yang berasal dari desa, mampu memikat Salya muda, putra mahkota Kerajaan Mandaraka yang sedang mencari calon permaisuri. Keduanyapun sepakat untuk  hidup bersama dalam suka cita maupun duka lara. Namun masih ada hal yang mengganjal di hati Salya muda, saat itu masih bernama Narasoma. Narasoma, pewaris tahta yang sebentar lagi kepalanya akan dihiasi mahkota, merasa risih jika memiliki ayah mertua seorang raksasa. Tentu akan melunturkan kewibawaannya.
Dengan hati – hati ia ungkapkan itu kepada Pujawati. Ia menggunakan perumpamaan, ia ingin memetik bunga di seberang sungai, namun sungai itu dijaga oleh seekor buaya yang ganas. Apa yang harus dilakukannya ? Pujawati yang tidak tanggap dengan perumpamaan itu lalu bertanya kepada ayahnya apa yang harus dilakukan oleh si pemetik bunga itu ? Bagaspati yang sudah kenyang merasakan pahit getirnya kehidupan paham apa yang dikehendaki oleh menantunya terkasih itu. Akhirnya Bagaspati memanggil mereka berdua dan menguraikan makna dari perumpamaan yang dibuat oleh Narasoma. Artinya jika Narasoma ingin mengambil Pujawati maka ia harus mati. Namun demi kebahagiaan puteri tunggalnya ia rela menyerahkan nyawanya. Ia bersedia mahar perkawinan putrinya adalah jiwa raganya sendiri.
Tanpa sepengetahuan Pujawati, tragedi itu berlangsung, entah dengan sadar atau tidak, Narasoma menghunus keris danmenancapkannya di dada Bagaspati. Bagaspati tersenyum sambil menahan sakit, di saat terakhir hidupnya ia berpesan kepada Narasoma bahwa ia meminta Narasoma untuk sepenuh hati mencintai Pujawati, tidak menduakannya apalagi meninggalkannya. Narasoma menyanggupi, ia bersumpah untuk tidak mengambil istri atau selir lagi meskipun ia seorang raja kelak. Puas dengan jawaban Narasoma,Bagaspati menghembuskan nafas terkhirnya dengan perasaan lega setelah membukakan jalan kebahagiaan putrinya. Untuk mengingatkan agar selalu setia terhadap istrinya, Narasoma memberikan nama lain bagi istrinya yaitu Setyawati.

          Kejadian masih  itu terpahat di relung jiwa Prabu Salya, ia sadar suatu saat ia akan memetik benih yang ia tabur dahulu. Kebahagiaan yang ia miliki kini berangsur hilang. Dimulai dengan permohonan Duryudana yang tidak bisa ia tolak untuk memihak Kurawa. Yang berarti harus berhadapann dengan Pandawa. Padahal dua Pandawa termuda, yaitu Nakula dan Sadewa adalah anak dari adiknya, Madrim. Ya, ia lalu ingat kesedihan lain yang sangat mendalam. Ketika adik perempuan satu – satunya yang sangat ia kasihi harus mengalami nasib malang. Ia wafat di usia yang masih sangat muda ketika melahirkan kedua anak kembarnya, Nakula dan Sadewa. Adik yang selama ini mengikutinya kemanapun ia pergi telah pergi selamanya. Dan keponakannya yang masih orok itu sudah menjadi yatim piatu, karena ayahnya, Prabu Pandu juga meninggal tak lama setelah Madrim meninggal. Telinga Salya masih terus terngiang suara tangis dua keponakannya itu di waktu malam hari. Bayi yang sudah ditinggal mati ayah - ibunya. Hatinya makin teriris ketika mengetahui Si Kembar sejak masih kecil hingga dewasa selalu dimusuhi oleh Kurawa, beberapa kali diancam keselamatannya, diusir dari Hastina hingga direbut hak tahta kerajaan.
          Kini Nakula Sadewa ingin kembali mendapatkan haknya atas tahta Hastina, sementara ia harus membantu Kurawa mempertahankan Hastina. Bagaimana mungkin ia tega melawan dua keponakan yang sedari kecil tidak pernah meminum air susu ibunya sendiri ? Tegakah ia berhadapan dengan darah daging adiknya yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari dirinya ? Apa yang akan dunia katakana jika ia tetap egois mempertahankan prinsipnya? Ya, ia harus merelakan jiwanya sebagai tumbal kemuliaan dua ponakannya itu, sebagaimana Bagaspati yang merelakan nyawanya untuk kebahagiaan Setyawati. Ya, esok ia harus mati. Itu satu – satunya cara agar ia tetap bisa menjaga harga dirinya sekaligus mencurahkan kasih untuk keponakannya. Semakin mantap hati Salya bahwa inilah malam terakhirnya di dunia fana ini. Memang tinggal Nakula dan Sadewalah gantungan harapannya. Dua anak lelakinya, Burisrawa dan Rukmarata telah tiada, padahal mereka yang digadang – gadang akan menyambung sejarah Mandaraka. Hatinya sangat merana, ia paham bahwa ini adalah pusaran takdir, karma dari perbuatannya.
Mèh rahina sêmu bang Hyang Aruna ,
kadi nétrané ogha rapuh ,
sabdané kukila ring kanigara ,
sakêtêr kêkidungan ningkung ,
lir wuwusing winipanca ,
papêtaking ayam wana ring pagagan ,
mêrak anguwuh ,
brêmara ngrabasa kusuma ring parahasyan arum.

     Menjelang fajar bersirat kemerahan Sang Surya ,
     seperti mata yg sedang sakit ,
     ocehan burung engkuk di pohon kanigara ,
     bagai rintihan -orang- yg sedang jatuh cinta ,
     seperti suara seruling winipanca (suling India) ,
     kokok ayam hutan di ladang ,
     suara merak mengundang ,
     kumbang menghisap bunga di kamar tidur harum (indah).

          Lamunannya terhenti ketika ia semburat kemerahan sudah menodai langit sebelah timur, ia sadar sebentar lagi ia harus  mempersiapkan diri melaju ke medan laga. Diperhatikannya wajah istrinya yang masih tertidur pulas. Sangat tenang, teduh, damai, dan anggun. Mungkinkah ini kali terakhir  melihat wajah ini ? tanyanya dalam hati. Mulailah bergantian terlintas peristiwa – peristiwa yang sudah ia lalui bersama istrinya, bertahun – tahun sudah mereka hidup bersama tanpa sedetikpun terjadi cek – cok.  Meski dengan perasaan tersayat Prabu Salya melepaskan pegangan tangan istrinya secara perlahan. Diusapnya kening Sang Ratu, tak kuasa ia memendam perihnya jiwa. Dengan penuh hati – hati Salya melangkah menjauhi istrinya, menuju pintu keluar. Sampai di muka pintu, ia kembali menoleh melihat istrinya yang masih tak bergerak dari tempatnya tadi. Wajah itu masih terlihat sama seperti saat mereka pertama kali bertemu, polos, tenang, namun waspada. Ia tidak bisa membayang bagaimana raut muka istrinya nanti jika terbangun menyadari dirinya sudah tidak ada. Berada berkilo – kilo jauhnya namun sangat ramai oleh dentingan pedang dan robohnya kereta. Tak kuasa Salya memikirkannya. Yang ia tahu bahwa ia harus segera bergegas menyongsong takdirnya…

Senin, 27 Oktober 2014

Dosa Sri Kresna : Ambisi, Siasat, dan Kelicikan



Lord Khrisna atau Sri Kresna dalam jagad pewayangan Jawa dikenal sebagai sosok yang waskita, ngerti sakdurunge winarah, apa kang cinipta kelakon, sinedya dadi. Sebab ia adalah  titsing Wisnu kekandhangane Hyang Suman.  Merupakan permata dari bangsanya, bangsa Yadawa. Bangsa  dengan klan – klan yang cukup besar, mendiami banyak Negara, seperti Dwarawati atau Dwaraka, Kumbina atau Kundina, Lesanpura, dengan Mandura sebagai induknya. Ikatan kekeluargaan Yadawa sangatlah erat, jika suatu klan Yadawa menyerang kerajaan lain maka  klan Yadawa lainnya akan membantu. Sebaliknya, jika suatu klan diserang bangsa lain maka seluruh Yadawa akan bersatu untuk mempertahankan diri. Maka tidak heran jika diantara darah Yadawa muncul petarung – petarung ulung seperti Baladewa atau Balarama, Kamsa, Sisupala, Setyaki dan ayahnya Ugrasena. Mereka adalah tipe Yadawa yang dianggap paling sejati, dengan semangat yang meledak – ledak, semangat juang menggelora, dan ber temperamen tinggi. Ada lagi tipe Yadawa yang kedua, yaitu lebih diplomatis, pandai bernegosiasi, lihai merangkai kalimat untuk menundukka lawan bicaranya atau sekedar membenarkan perbuatannya agar diterima orang lain, mereka seperti Arya Prabu Rukma, Samba, Setyaka, dan tentu saja yang paling hebat, Sri Kresna sendiri.

Segala sesuatu sepertinya sudah dimiliki Bangsa Yadawa, mulai dari kejayaan, kekayaan, kerajaan yang luas, hingga status  “kebangsawanan” di kalangan bangsawan Arya sendiri. Namun ada hal yang masih menjadi kekhawatiran Sri Kresna, yaitu bahwa segala yang dimiliki Kaum Yadawa tidak akan bertahan lama, sebentar lagi kegemilangan bangsanya akan segera lenyap. Seluruh kejayaan, kekayaan, dan kerajaan besarnya akan hancur, yang tersisa hanyalah puing puing sisa masa gemilang yang tidak lagi bernilai, dan didiami oleh Yadawa golongan rendahan yang hidup tidak menentu. Tentu tidak sulit bagi Kresna untuk menerawang hal yang akan terjadi di masa depan dengan kemampuan yang dimilikinya. Dan dia juga paham jika ini adalah kehendak Yang Kuasa untuk menghukum kaumnya yang karena dimanjakan oleh keadaan hingga timbul rasa malas dan congkak. Ia sangat prihatin diantara putra – putranya, terutana Samba yang diharapkan menjadi penerusnya tidak mencerminkan sosok kepemimpinan yang diharapkan, Samba terlalu dimanjakan oleh keluarganya. Atau sikap congkak yang ditunjukkan oleh sepupu jauhnya Sisupala, atau kesombongan Kritawarma yang bersekutu dengan Kurawa, sudah membuat moral Bangsa Yadawa semakin bobrok.
Hati Sri Kresna semakin teriris ketika melihat “ sepupu “ bangsanya yaitu Bangsa Kuru yang saat itu dipelopori oleh Pandhawa dan Kurawa, semakin gilang gemilang, meniti puncak kejayaan diantara Bangsa Arya. Ia tersenyum kecut melihat apa yang terjadi. Namun Sri Kresna bukanlah orang yang menyerah pada nasib, ia mulai menyusun siasat dan strategi untuk melanggengkan hagemoni bangsanya. Ia sadar saat ini yang mejadi kiblat Para Suku Arya adalah Bangsa Kuru, maka mau tidak mau ia harus mendekati dan sebisa mungkin masuk dalam lingkaran Bangsa Kuru. Ia menyuruh kakaknya, Baladewa untuk mendekati Kurawa, sedang ia sendiri mendekati Pandhawa. Metode perkawinan politikpun ia lakukan. Pertama ia menggunakan adik perempuannya, Sembadra untuk dinikahkan dengan Arjuna dari keluarga Pandhawa. Sri Kresna mengetahu bahwa keturunan Arjunalah yang sesungguhnya akan mendapatkan wahyu keprabon, pewaris tahta Raja Besar Arya. Dan apa yang apa yang dikehendaki terjadi, dari Rahim Sembadra lahirlah Abimanyu, berdarah setengah Yadawa setengah Kuru. Investasinya dimasa depan akan berhasil.
Namun ia masih belum puas, ia menginginkan darah Yadawa murni yang menjadi penguasa. Ketika Dewa menurunkan Wahyu Cakraningrat, yaitu barangsiapa mendapatkan wahyu tersebut maka ia akan menurunkan raja – raja besar. Maka ia mengutus anaknya, yaitu Samba untuk mendapatkan wahyu tersebut. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat dielakkan, Samba tidak berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat, bahkan Abimanyulah yang mendapatkannya. Sri Kresna jelas kecewa, meski setiap orang  awam yang tak berilmu pun akan tahu jika Samba tak akan mungkin menang bersaing dengan Abimanyu, Samba tak punya kecakapan sama sekali, sedang Abimanyu selain lihai dalam seni perang ia juga mulai belajar bab tata Negara, semakin memantapkan bahwa ia calon raja besar.
Kegusaran hatinya mendorong Sri Kresna untuk mengulangi cara yang pernah ia lakukan dahulu, yaitu perkawinan politik. Putrinya yang bernama Siti Sundari ia nikahkan dengan Abimanyu yang baru berusia 15 tahun. Meski mereka masih saudara sepupu dan mempelai wanita jauh lebih tua dari mempelai pria. Harapan Sri Kresna  agar anak dari Abimanyu akan lebih dekat dengannya karena darah Yadawa yang mengalir di nadinya lebih dominan. Tidak hanya itu, dengan dalih mempererat ikatan kekeluargaan antara ia dan Arjuna, anaknya yang lain yaitu Titisari ia nikahkan dengan Irawan, anak Arjuna yang lain. Akan tetapi terjadi suatu hal diluar prediksi Sri Kresna, Siti Sundari ternyata mandul, dan Abimanyu menikah lagi dengan Utari, Putri Wirata dari Bangsa Matsya. Kekhawatiran Sri Kresna semakin menjadi ketika mengetahui Utari mengandung anak Abimanyu, yang pastinya akan kelak akan menjadi raja, daa hancurlah kesempatan bagi Bangsa Yadawa untuk berkuasa.

Buntu pikiran Sri Kresna membawanya untuk menggunakan siasat terakhir. Jika Bangsa Kuru tak bisa disusupi dengan cara halus, maka hancurkan dengan cara kasar. Ya, Bangsa Kuru harus disingkirkan. Menggunakan isu tahta Kerajaan Hastinapura yang menjadi sengketa antara Pandhawa dan Kurawa, ia kembali mengobarkan semangat Para Pandhawa untuk mengklaim Hastina yang menjadi hak mereka. Dengan kepandaiannya merangkai kata hingga para Pandhawa terbuai dan mengamini apa pendapat Sri Kresna. Para Pandawa yang sebenarnya sudah merelakan Hastina, kembali bangkit atas “ hasutan “ Sri Kresna untuk meminta hak tahta Hastina. Dari kefasihannya berbicara hingga Para Pandhawa sepakat mengangkat Sri Krisna menjadi penasihat perang mereka. Hati Sri Krisna bersorak, ia mulai menancapkan kekuasaannya atas Bangsa Kuru. Pandhawa akan berperang dengan Kurawa, siapapun yang menang Bangsa Kuru akan lemah dan saat itu Bangsa Yadawa lah yang akan mengambil keuntungan. Masih ada hal yang mengganjal, Baladewa kakaknya merupakan penasihat Kurawa, ia tahu bahwa kakaknya pasti akan membela Kurawa. Ia tidak ingin perang saudara Bangsa Kuru juga akan diikuti perang saudara Bangsa Yadawa. Untuk itu ia menggunakan tipuu muslihat dengan mengungsikan kakaknya ke Grojogan Sewu selama perang terjadi agar Baladewa tidak bisa ambil bagian dalam perang.
Waktu yang sangat dinantikan Sri Kresna tiba. Perang saudara Pandhawa – Kurawa yang lazim disebut Bharatayuda itu akhirnya meletus. Pihak Pandhawa mempercayakan jalannya perang kepada Sri Kresna. Setiap panglima perang yang maju harus mendapat persetujuannya. Dengan dalih mendapatkan ilham dari Dewa berdasarkan Kitab Jitabsara, ia mulai mengangkat panglima perang dari kalangan putra – putra Pandhawa. Dan hasilnya, sebagian besar putra Pandhawa gugur, termasuk menantunya sendiri yaitu Abimanyu, dalam hati kecilnya Sri Kresna memendam kekecewaaan kenapa Abimanyu tidak memiliki keturunan dengan anaknya, Siti Sundari. Singkat cerita perang berakhir dengan kemenangan pihak Pandhawa, seluruh Kurawa gugur. Secara de jure Pandhawa yang menang namun secara de facto Sri Kresnalah yang menang, mengingat sebagian putra Pandhawa yang terkemuka telah tewas. Yang tersisa hanyalah Pandhawa dan beberapa putranya serta anak mendiang Abimanyu yang baru lahir, kemudian diberi nama Parikesit.

Kemenangan Pandhawa membuat nama Sri Kresna menjadi harum, para Pandhawa menganggap racikan strategi Sri Kresnalah yang mengantarkan mereka memenangi perang besar. Maka setiap ucapan Sri Kresna selalu mereka turuti. Inilah kesempatan emas bagi Sri Kresna untuk mengubah percaturan politik Para Bangsa Arya. Ia membuat kebijakan yang sangat kontroversial. Alih – alih Yudhistira sebagai Pandhawa tertua, atau Pancawala, anaknya yang dijadikan raja di Hastina, tetapi malah Parikesit, bayi orok yang baru lahir, anak dari Abimanyu yang dinobatkan menjadi Raja Hastinapura. Ia sadar hanya Parikesitlah yang memiliki sedikit Darah Yadawa yang paling berpeluang menjadi raja. Lebih aneh lagi, cucunya, anak dari Samba, yang bernama Arya Dwara ia jadikan Patih di Hastina, padahal apa kontribusi Dwara selama ini? Ia bahkan bukan kerabat Pandhawa. Belum cukup sampai disitu, kuku kekuasaan Yadawa semakin menancap di hastinapura setelah Baladewa, kakak Sri Kresna diangkat menjadi penasihat utama kerajaan. Jadi setiap kebijakan yang diambil pastilah berasal dari Baladewa atau Arya Dwara sebagai pemangku jabatan strategis. Sedang apa yang didapatkan Pandhawa ? dengan kata – kata halusnya Sri Kresna mengajak Para Pandhawa untuk mengasingkan diri meninggalkan keduniawian untuk menebus dosa mereka karena telah berperang dengan saudaranya sendiri, para Kurawa.
Sekarang Sri Kresna sudah bisa bernafas lega. Meski sebentar lagi kerajaan dan bangsanya akan hancur tercerai berai, setidaknya masih ada kekuasaan di Hastinapura. Segala upaya dan siasatnya sekian tahun akhirnya membuahkan hasil juga, segala cara sudah ia lakukan walau kadang terkesan licik, picik, bahkan kejam. Tapi tak apalah yang penting ambisinya tercapai. Toh dia adalah titisan Lord Vhisnu yang berhak mengubah jalannya takdir manusia. Ya dialah Sri Krisna…

   

Sagopi, Korban Feodal Bukan Sundal



            Mungkin kebanyakan orang, dalam hal ini penggemar wayang masih asing dengan nama Ken Sagopi atau Nyai Sagopi. Sebagian kecil sudah mengenal Sagopi sebagai istri dari Demang Antagopa atau Demang Sagopa, yang mengepalai sebuah Kademangan bernama Widarakandhang, yang terkenal sebagai tempat persembunyian para putra raja Mandura yaitu Kakrasana / Baladewa, Narayana / Kresna, dan Rara Ireng / Sembadra dari ancaman pembunuhan oleh Adipati Sengkapura, Kangsadewa, yang merupakan anak angkat dari Raja Mandura saat itu, Prabu Basudewa.
Saat itu Kangsadewa sangat berupaya untuk membunuh para putra raja karena dia beranggapan jika seluruh putra raja dilenyapkan khususnya Kakrasana dan Narayana, sedang Rara Ireng ia peristri, maka dialah yang akan menerima tahta Mandura selanjutnya. Maka Kangsa mulai melakukan beberapa tindakan makar untuk menjaga stabilitas keamanan Mandura, termasuk mencari tempat persembunyian para putra raja.
Lalu mengapa Sagopa dan Sagopi rela untuk mempertaruhkan nyawa mereka demi merelakan Widarakandhang sebagai tempat persembunyian  3 putra raja tersebut. Motivasi keduanya tentu berbeda. Sagopa,yang ketika mudanya adalah saudara seperguruan Raja Basudewa dan juga sebagai warga Negara  tentu merasa bahwa ia harus ikut serta dalam bela Negara dengan menyelamatkan pewaris tahta yang sah. Selain itu mana mungkin Sagopa bisa menolak permintaan atau lebih tepatnya perintah raja. Bukankah titah raja protokolernya adalah siap laksanakan, tak bisa menolak.
             Beda Sagopa, beda pula Sagopi. Wanita paruh baya yang masih terlihat gurat – gurat kecantikan di waktu mudanya memiliki cerita masa lalu yang berbeda dengan Sagopa, bahkan lebih rumit dan kompleks mengenai hubungannya dengan Basudewa, bukan sekedar hubungan antara penguasa dan rakyat jelata, bukan. Perlu diketahui, ketika masih muda, Ken Sagopi yang saat itu masih bernama Ken Yasuda adalah Wiraswara ( penyanyi ) dan Penari di Istana Mandura ketika pemerintahan raja Kunthiboja, ayah Basudewa. Meski berasal dari desa namun kecantikan Yasuda sedah melegenda di kalangan keraton. Pembawaan yang sederhana namun menawan, anggun tanpa banyak tingkah yang disengaja, tentu akan membuat siapapun terbuai oleh citra Ken Yasuda. Apalagi ditambah dengan gerak tari yang gemulai dan suara yang merdu, membuat kecemerlangannya kian komplit.
Banyak abdi dalem bahkan tidak sedikit pejabat keraton yang menaruh hati pada sosok Yasuda, namun tidak satupun yang berani  mrngungkapkan perasaan mereka. Apa pasal ? bukankah mencintai dan keinginan memiliki adalah kodrat manusia ? bukankah Yasuda hanyalah gadis desa yang tentu tidak banyak permintan ? Ya, setiap orang di dalam dinding  keraton tentu tahu bahwa ada seorang  yang juga memuji kesempurnaan Yasuda. Bukan pria sembarangan, ya dialah putra sulung raja sekaligus putra mahkota kerajaan, yaitu Basudewa. Setiap diadakan penyajian kesenian di istana tentu Basudewalah yang paling tak sabar menantikan penampilan Yasuda, tiap ada waktu luang pasti digunakan Basudewa untuk berbincang atau sekedar menyapa Yasuda.
Pertemuan yang intens dan dengan kuasa yang dimiliki Basudewa, tak sulit baginya untuk mendekatkan dirinya dengan Yasuda. Hingga di suatu kesempatan, pangeran mahkota dan gadis desa itu melampaui batasan yang paling tegas. Ya, calon Raja Mandura telah menghisap madu kenikmatan dari bunga desa yang baru mekar itu. Akibatnya tentu bisa dirasakan, Yasuda mengandung benih trah Kerajaan Mandura, benih putra mahkota, dan pasti juga akan menjadi pewaris tahta kelak. Namun Yasuda juga menyadari dia hanyalah gadis desa, mana mungkin dia akan menjadi seorang istri pangeran, menjadi permaisuri, apalagi menjadi ibu suri kelak. Jangankan permaisuri, selirpun sepertinya mustahil. Tak apalah, toh ia tidak mencintai Basudewa, ya dia tidak mencintai Basudewa. Ia melakukannya hanya semata sebuah pelayanan rakyat terhadap perintah dari penguasa.
Penyesalan tentu mengalir deras dari diri Basudewa, gelora jiwa mudanya telah membuyarkan akal jernihnya. Nalar seorang ksatria calon raja telah hanyut oleh nafsu birahi seorang pemuda. Nasi telah menjadi bubur. Benih yang dikandung Yasuda lama – lama kian membesar, ia khawatir jika ia berterus terang kepada ayahnya ia akan kehilangan tahta karena dianggap mempermalukan kerajaan. Bisa saja tahta akan jatuh ke tangan adiknya, Arya Prabu Rukma, atau si bungsu, Ugrasena. Kebingungan dan ketakutan yang menyelimutinya mengantarkannya untuk pergi ke Widarakandhang, menemui Sagopa, saudara seperguruannya.
Dengan merengek bak anak kecil meminta mainan, Basudewa memohon bantuan Sagopa, meminta Sagopa untuk mau menampung Yasuda dan bayi yang dikandungnya. Sagopa sudah paham dengan sifat saudara seperguruannya itu, apa yang diinginkan harus tercapai.ia menyanggupi dan dia juga bersumpah selibat, tidak akan menikah maupun berhubungan badan dengan siapapun, ia sudah menjadi wahdat. Sebuah sumpah yang luar biasa. Sebuah penghormatan dan kepatuhan terhadap kawan dan penguasa. Sebagai balasan maka Sagopa diangkat menjadi Demang di Widarakandhang, dengan gelar Antagopa.   Dan untuk bayi yang dikandung  Yasuda akan diakui sebagai anak dari Sagopa, serta demi keselamatan Yasuda, maka identitasnya disamarkan dengan memakai nama Ken Sagopi.
Mulai saat itu, secara de jure Sagopi adalah istri dari Sagopa, namun secara de facto Sagopi tetaplah simpanan Basudewa. Setiap ada kesempatan Basudewa tentu akan mengunjungi Sagopi. Tak kurang tiap seminggu sekali Basudewa selalu berkunjung. Namun seiring diangkatnya Basudewa menjadi raja, maka Basudewa sudah tidak bisa leluasa lagi mengunjungi Sagopi, apalagi ia sudah memiliki 3 orang permaisuri, yaitu Dewaki, Rohini, dan Maera. Bahkan ketika Sagopi melahirkan, Basudewa tidak bisa hadir, dia hanya mengirim adiknya yaitu Arya Prabu Rukma untuk memberikan nama pada bayi yang baru lahir, nama bayi tersebut adalah Udawa, yang kelak menjadi patih di Dwarawati.
Sagopi tak sedikitpun menaruh dendam atau marah pada Basudewa, ia sadar bahwa posisinya hanyalah seorang rakyat dan wanita biasa. Namun ada hal lain yang dirasakan Sagopi, Arya Prabu, entah iba karena Sagopi ditelantarkan oleh kakaknya atau karena melihat kecantikan Sagopi yang tidak berkurang sedikitpun meski telah memiliki satu anak, ia menaruh hati pada Sagopi, wanita simpanan kakaknya. Sagopi pun tidak bisa mengelak bahwa ia juga seorang wanita yang butuh kesenangan biologis, mengingat suami resminya Demang Sagopa hanya bersandiwara menikahinya, maka ajakan Arya Prabu Rukma untuk memadu kasih ia terima dengan penuh gairah. Singkat waktu, Sagopi kembali mengandung, kali ini benih dari Arya Prabu Rukma. Hingga tiba waktunya melahirkan, Arya Prabu Rukma tidak pernah lagi menemui Sagopi, karena ia sudah menjadi raja di Kerajaan Kumbina bergelar Prabu Bismaka. Bayi perempuan yang baru lahir diberi nama Rarasati atau Larasati yang kelak diperistri oleh Arjuna.
Seperti De Javu, ketika perayaan kelahiran Larasati datanglah pangeran bungsu Mandura yaitu Ugrasena. Mengikuti jejak kedua kakaknya, ia juga terpesona kemolekan tubuh Sagopi yang sudah beranak dua kali itu. Kali ini pun Sagopi sudah tidak mempedulikan harga dirinya lagi, ia hanya pasrah ketika Ugrasena mulai menggunakan tubuhnya sebagai alat pemuas nafsu. Dari hubungannya dengan Ugrasena ia melahirkan anak laki – laki yang diberi nama Adimanggala, kelak Adimanggala menjadi patih di Awangga, dan Ugrasena sendiri menjadi raja di Lesanpura bergelar Prabu Satyajid.
Sagopi bukanlah wanita penggoda atau sundal yang suka merayu orang. Dia hanyalah korban feodal kaum elit. Apa daya seorang gadis desa melawan hasrat keinginan 3 bersaudara pangeran Mandura yang kini sudah menjadi 3 raja besar di Mandura, Kumbina, dan Lesanpura. Ia sudah tidak memikirkan lagi apa artinya harga diri atau perasaan seorang wanita, ia kini hanya focus pada masa depan anak – anaknya dan anak titipan dari raja Basudewa, orang yang membuatnya mengalami perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan….