Dhedhep tidhem prabawaning ratri
Sasadara wus manjer kawuryan
Tan kuciwa memanise
Menggep Srinateng ndalu
Siniwaka sanggya pra dhasih
Angglar neng cakrawala
Winulat ngelangut
Prandene paksa kebegan
Saking kehing taranggana kang sumiwi
Warata tanpa sela
Sunyi senyap karena pengaruh malam
Rembulan sudah tampak berpendar
Tidak mengecewakan keelokannya
Bagaikan Sang Raja Malam
Hadir dihadapannya seluruh para
kawula
Tergelar di cakrawala
Terlihat menerawang jauh
Namun demikian masih terasa sesak
Sebab banyaknya bintang yang
menghadap
Merata rapat tiada berjarak
Malam kian merambat naik. Cakrawala mulai tertutupi kubah
gelap yang terlihat sangat berwibawa. Hening dan senyap seakan semua telah
terbius oleh keanggunan malam. Namun ada hati yang sedang bergolak, tatapan
matanya nanar, letih dan payah tak dirasakan mesti usia sudah terlampau lanjut.
Raja Mandaraka dari Bangsa Madras, Prabu Salya tak jenak untuk memejamkan mata,
meski disandingnya telah tertidur dengan pulas Sang Permaisuri Setyawati,
sembari menggenggam erat tangan rapuh Sang Raja. Cukup lama sudah Prabu Salya
berusaha membujuk dan menidurkan istrinya itu. Kembali ia teringat percakapannya
dengan Sang Istri sesaat sebelum ia memasuki Tilamsari Keraton Mandaraka.
Sore itu Raja Salya baru saja memasuki pintu Keraton ketika
disambut Ratu Setyawati. Langkahnya gontai setelah seharian mengikuti rapat
agung Kurawa yang sedang meghadapi Pandhawa dalam ganasnya Perang Bharatayuda. Segera
saja Ratu mencium tangan raja dan mereka berpelukan.
“ Apa gerangan yang membuat Kanda Prabu terlambat pulang ?
Adakah berita besar yang Kanda bawa ? Ataukah perang sudah berakhir ? Siapakah
yang menang ? “ Setyawati mulai membuka
percakapan sembari menggandeng tangan Raja memasuki Keraton. Pertanyaan itu
sangat lancar mengalir dari mulut Setyawati karena hampir setiap Raja pulang selalu itu yang
ditanyakan. Ia sangat mengharapkan perang segera berakhir. Baginya Bharatayuda seperti
mengiris jari berlandaskan lutut. Kedua pihak yang berperang masih kerabat,
Duryudana, sulung Kurawa adalah menantunya, sedang dua Pandawa termuda, Nakula
dan Sadewa adalah keponakannya.
“ Dinda Setyawati, “ jawab Raja pelan, “ memang hari ini
Rapat Agung Kurawa berlangsung lama mengingat kegentingan yang sedang terjadi.
Perang semakin kejam, kekuatan Kurawa semakin menipis sementara semangat perang
pihak Pandawa semakin berkobar dengan keberhasilan mereka menewaskan menantu
kita, Karna. “ Menarik nafas dalam - dalam Sang Raja melanjutkan sabdanya, “
Setelah gugurnya Karna, jabatan panglima perang kosong, dan berdasarkan
keputusan Rapat Agung, Kandalah yang ditunjuk sebagai panglima, jadi besok pagi
Kakanda akan memimpin pasukan menghadapi Para Pandawa. “
Setyawati tercekat. Wajahnya pucat, bibirnya kelu,
langkahnya terhenti. Ia tidak mampu memandangi wajah suaminya, ia hanya
tertunduk. Dipelupuk matanya terbayang, suaminya menaiki kereta perang
menghunus tombak dengan mayat berserakan di setiap sudut medan perang. Ia sedikitpun
tidak pernah meragukan kesaktian suaminya, dikala mudanya dulu Prabu Salya atau
Raden Narasoma adalah panglima perang dan peracik strategi perang yang handal. Namun
bayangan kematian tentu melingkupi seorang panglima yang sedang berperang,
apalagi ini Bharatayuda, perang saudara mahadahsyat. Panglima sekelas Maharesi
Bhisma yang tidak bisa mati jika bukan kehendaknya sendiri, atau Mahaguru Drona
yang menguasai seluruh seni perang, atau Gatotkaca, pahlawan muda sakti mandraguna,
atau Abimanyu yang kemampuannya setara dengan Arjuna, atau yang terbaru Adipati
Karna yang mendapatkan perlindungan Dewa Matahari, semuanya telah gugur menjadi
korban perang. Apa daya seorang Salya yang sudah berusia lanjut ?
Melihat gelagat istrinya, Prabu Salya tanggap. Diraihnya
tangan Setyawati, ia genggam erat – erat, “ sudahlah Dinda, aku tidak ingin
membahas itu. “ sabdanya mencairkan suasana. Lalu ia dudukkan istrinya dan ia
juga duduk persis di depan Setyawati yang tampak masih pucat.
“ Dinda, sudah berapa lama kita berumah tangga ?” Tanya Salya.
“ Mengapa Kakanda bertanya demikian ? “ Setyawati balik
bertanya, masih tetap tidak memandangi wajah suaminya.
“ Jawab saja Dinda Ratu “ Prabu Salya meyakinkan.
“ Jika hamba tidak salah menghitung, kita sudah 54 tahun berumah
tangga, Kanda Prabu “ jawab Setyawati pelan.
“ Selama Dinda mendampingi Kanda, pernahkah dinda aku
bentak atau aku pukul ? “
“ Jangankan membentak, apalagi memukul, berbicara keras pun
tidak pernah Kanda lakukan terhadap hamba. “ ujar Setyawati sambil membetulkan
tempat duduknya.
“ Syukurlah jika demikian adanya, persis seperti apa yang
Kanda janjikan kepada Dinda ketika kita menikah dulu. “
“ Kanda masih ingat
? “ Tanya Setyawati dengan raut muka heran. Karena sudah lebih dari setengah
abad peristiwa itu terjadi.
“ Tidak hanya ucapan yang Kanda ingat, bahkan pakaian yang
kita kenakan juga masih Kanda ingat. Saat itu Kita memakai kain batik Sidomukti
dan Sidoluhur. Bukan begitu ? “
“ Persis apa yang Kanda katakan. Dinda juga masih menyimpan
kain itu sampai saat ini, Kanda. Tidak pernah Dinda pakai lagi dan biarlah itu
menjadi prasasti bagi kita Kanda Prabu. “ timpal Setyawati.
Prabu Salya lalu berujar, “ Apa yang diidamkan dari makna
kain itu rasanya sudah terpenuhi semua, Dinda. Perkawinan kita sudah mukti dan
luhur. Mukti, Kanda dan Dinda sudah terlampau mukti mengenyam manisnya dunia.
Kanda sudah menjadi raja di kerajaan yang makmur ini. Sedang kita juga sudah
luhur, kita sudah memiliki 5 anak dan banyak cucu. Kelima anak kita sudah
menjadi orang, Irawati sudah menjadi dipinang Prabu Baladewa dan menjadi
permaisuri Mandura. Surtikanthi menjadi istri Karna dari Awangga, dan Banuwati
menjadi permaisuri di Hastina mendampingi Duryudana. Sedang Burisrawa dan
Rukmarata . . . “ Prabu Salya terhenti tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ratu
Setyawati pun kembali pucat setelah tadi agak mereda. Mereka berdua terdiam. Kedua
anak laki – laki yang baru saja disebut namanya telah lama gugur di medan laga
ketika awal Bharatayuda berkecambuk.
Tak enak hati kemudian Prabu Salya mengganti topik
pembicaraan, namun kali ini lebih ia seperti bergumam sendiri, “ Suatu
kebetulan yang sangat bahwa hari lahir dan weton pasaran kita sama. Kanda lahir
pada hari Selasa Wage, demikian pula Dinda Ratu, “ terdiam agak lama Prabu
Salya, lalu melanjutkan “ Dinda, datang kita bersama, besok pulang juga harus
bersama “
Segera Setyawati menjatuhkan diri di pangkuan suaminya,
tidak ada suara sama sekali. Hanya air mata yang deras mengalir. Ia sadar bahwa
apa yang dikatakan suaminya tak lebih dari kata perpisahan. Prabu Salya
terdiam, ia tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia biarkan air mata Setyawati
membasahi pakaiannya. Mungkin ini kali terakhir ia bisa bercengkrama dengan
istri yang sudah memberinya 5 anak itu. Ada perasaan untuk mengurungkan niatnya
dalam berperang esok, karena tak tega ia meninggalkan satu - satunya orang yang
selama ini mendampinginya. Namun jiwa ksatrianya bangkit bergelora. Ia tetap
harus maju sebagai kusuma bangsa, meski ia juga sadar pihak yang dibelanya
adalah pihak yang salah. Dalam hatinya ia mengumpat akan keserakahan para
Kurawa yang menjadi sebab pecahnya perang saudara ini. Tapi semua sudah
terlanjur, kini ia hanya bisa memapah istrinya memasuki kedhaton dan
menidurkannya di ranjang sutra. Dengan terus berusaha menghibur istrinya dengan
kata – kata yang indah dan menenteramkan. Tidak menjadi penawar justru semakin
deras air mata yang membasahi pipi Setyawati. Letih dan lelah membuat tangisan
Setyawati berhenti dan terlelap tidur, namun tangannya masih memegang erat
lengan Prabu Salya seakan tak mau dipisahkan.
Myat
langening kalangyan
Lihatlah tarian bintang
Aglar pandam muncar
Bertabur percikan api
Tinon lir kekonang
Nampak bagai kunang-kunang
Surem sorote tan padhang
Sinarnya suram tak benderang
Kasor lan pajare
Terkalahkan cahaya
Purnameng gegana
Purnama di angkasa
Dasare mangsa ketiga
Saatnya musim kemarau
Hima hana weng
Awan penghias langit
Ing ujung ancala
Di ujung cakrawala
Asenen karya wigena
Membuat hati gembira
Lihatlah tarian bintang
Aglar pandam muncar
Bertabur percikan api
Tinon lir kekonang
Nampak bagai kunang-kunang
Surem sorote tan padhang
Sinarnya suram tak benderang
Kasor lan pajare
Terkalahkan cahaya
Purnameng gegana
Purnama di angkasa
Dasare mangsa ketiga
Saatnya musim kemarau
Hima hana weng
Awan penghias langit
Ing ujung ancala
Di ujung cakrawala
Asenen karya wigena
Membuat hati gembira
Malam
semakin larut. Pikiran Prabu Salya semakin jauh mengingat peristiwa 57 tahun
yang lalu. Ketika pertama kali ia
bertemu dengan Setyawati, yang saat itu masih bernama Pujawati. Anak dari
raksasa Bagaspati, meski ayahnya berwujud raksasa mengerikan, namun Pujawati
berparas elok sehingga membuat Pangeran Mandaraka itu dimabuk kepayang. Kesederhanaan
dan kepolosan Pujawati yang berasal dari desa, mampu memikat Salya muda, putra
mahkota Kerajaan Mandaraka yang sedang mencari calon permaisuri. Keduanyapun
sepakat untuk hidup bersama dalam suka
cita maupun duka lara. Namun masih ada hal yang mengganjal di hati Salya muda,
saat itu masih bernama Narasoma. Narasoma, pewaris tahta yang sebentar lagi
kepalanya akan dihiasi mahkota, merasa risih jika memiliki ayah mertua seorang
raksasa. Tentu akan melunturkan kewibawaannya.
Dengan
hati – hati ia ungkapkan itu kepada Pujawati. Ia menggunakan perumpamaan, ia
ingin memetik bunga di seberang sungai, namun sungai itu dijaga oleh seekor
buaya yang ganas. Apa yang harus dilakukannya ? Pujawati yang tidak tanggap
dengan perumpamaan itu lalu bertanya kepada ayahnya apa yang harus dilakukan
oleh si pemetik bunga itu ? Bagaspati yang sudah kenyang merasakan pahit
getirnya kehidupan paham apa yang dikehendaki oleh menantunya terkasih itu. Akhirnya
Bagaspati memanggil mereka berdua dan menguraikan makna dari perumpamaan yang
dibuat oleh Narasoma. Artinya jika Narasoma ingin mengambil Pujawati maka ia
harus mati. Namun demi kebahagiaan puteri tunggalnya ia rela menyerahkan
nyawanya. Ia bersedia mahar perkawinan putrinya adalah jiwa raganya sendiri.
Tanpa
sepengetahuan Pujawati, tragedi itu berlangsung, entah dengan sadar atau tidak,
Narasoma menghunus keris danmenancapkannya di dada Bagaspati. Bagaspati
tersenyum sambil menahan sakit, di saat terakhir hidupnya ia berpesan kepada
Narasoma bahwa ia meminta Narasoma untuk sepenuh hati mencintai Pujawati, tidak
menduakannya apalagi meninggalkannya. Narasoma menyanggupi, ia bersumpah untuk
tidak mengambil istri atau selir lagi meskipun ia seorang raja kelak. Puas dengan
jawaban Narasoma,Bagaspati menghembuskan nafas terkhirnya dengan perasaan lega
setelah membukakan jalan kebahagiaan putrinya. Untuk mengingatkan agar selalu
setia terhadap istrinya, Narasoma memberikan nama lain bagi istrinya yaitu
Setyawati.
Kejadian masih itu
terpahat di relung jiwa Prabu Salya, ia sadar suatu saat ia akan memetik benih
yang ia tabur dahulu. Kebahagiaan yang ia miliki kini berangsur hilang. Dimulai
dengan permohonan Duryudana yang tidak bisa ia tolak untuk memihak Kurawa. Yang
berarti harus berhadapann dengan Pandawa. Padahal dua Pandawa termuda, yaitu
Nakula dan Sadewa adalah anak dari adiknya, Madrim. Ya, ia lalu ingat kesedihan
lain yang sangat mendalam. Ketika adik perempuan satu – satunya yang sangat ia
kasihi harus mengalami nasib malang. Ia wafat di usia yang masih sangat muda
ketika melahirkan kedua anak kembarnya, Nakula dan Sadewa. Adik yang selama ini
mengikutinya kemanapun ia pergi telah pergi selamanya. Dan keponakannya yang
masih orok itu sudah menjadi yatim piatu, karena ayahnya, Prabu Pandu juga
meninggal tak lama setelah Madrim meninggal. Telinga Salya masih terus terngiang
suara tangis dua keponakannya itu di waktu malam hari. Bayi yang sudah
ditinggal mati ayah - ibunya. Hatinya makin teriris ketika mengetahui Si Kembar
sejak masih kecil hingga dewasa selalu dimusuhi oleh Kurawa, beberapa kali
diancam keselamatannya, diusir dari Hastina hingga direbut hak tahta kerajaan.
Kini Nakula Sadewa ingin kembali mendapatkan haknya atas
tahta Hastina, sementara ia harus membantu Kurawa mempertahankan Hastina. Bagaimana
mungkin ia tega melawan dua keponakan yang sedari kecil tidak pernah meminum
air susu ibunya sendiri ? Tegakah ia berhadapan dengan darah daging adiknya
yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari dirinya ? Apa yang akan dunia katakana
jika ia tetap egois mempertahankan prinsipnya? Ya, ia harus merelakan jiwanya
sebagai tumbal kemuliaan dua ponakannya itu, sebagaimana Bagaspati yang
merelakan nyawanya untuk kebahagiaan Setyawati. Ya, esok ia harus mati. Itu satu
– satunya cara agar ia tetap bisa menjaga harga dirinya sekaligus mencurahkan
kasih untuk keponakannya. Semakin mantap hati Salya bahwa inilah malam terakhirnya
di dunia fana ini. Memang tinggal Nakula dan Sadewalah gantungan harapannya. Dua
anak lelakinya, Burisrawa dan Rukmarata telah tiada, padahal mereka yang
digadang – gadang akan menyambung sejarah Mandaraka. Hatinya sangat merana, ia
paham bahwa ini adalah pusaran takdir, karma dari perbuatannya.
Mèh rahina sêmu bang Hyang Aruna ,
kadi nétrané ogha rapuh ,
sabdané kukila ring kanigara ,
sakêtêr kêkidungan ningkung ,
lir wuwusing winipanca ,
papêtaking ayam wana ring pagagan ,
mêrak anguwuh ,
brêmara ngrabasa kusuma ring parahasyan arum.
kadi nétrané ogha rapuh ,
sabdané kukila ring kanigara ,
sakêtêr kêkidungan ningkung ,
lir wuwusing winipanca ,
papêtaking ayam wana ring pagagan ,
mêrak anguwuh ,
brêmara ngrabasa kusuma ring parahasyan arum.
Menjelang fajar bersirat kemerahan Sang Surya ,
seperti mata yg sedang sakit ,
ocehan burung engkuk di pohon kanigara ,
bagai rintihan -orang- yg sedang jatuh cinta ,
seperti suara seruling winipanca (suling India) ,
kokok ayam hutan di ladang ,
suara merak mengundang ,
kumbang menghisap bunga di kamar tidur harum (indah).
seperti mata yg sedang sakit ,
ocehan burung engkuk di pohon kanigara ,
bagai rintihan -orang- yg sedang jatuh cinta ,
seperti suara seruling winipanca (suling India) ,
kokok ayam hutan di ladang ,
suara merak mengundang ,
kumbang menghisap bunga di kamar tidur harum (indah).
Lamunannya terhenti ketika ia semburat kemerahan sudah
menodai langit sebelah timur, ia sadar sebentar lagi ia harus mempersiapkan diri melaju ke medan laga. Diperhatikannya
wajah istrinya yang masih tertidur pulas. Sangat tenang, teduh, damai, dan
anggun. Mungkinkah ini kali terakhir melihat wajah ini ? tanyanya dalam hati. Mulailah
bergantian terlintas peristiwa – peristiwa yang sudah ia lalui bersama istrinya,
bertahun – tahun sudah mereka hidup bersama tanpa sedetikpun terjadi cek – cok.
Meski dengan perasaan tersayat Prabu
Salya melepaskan pegangan tangan istrinya secara perlahan. Diusapnya kening
Sang Ratu, tak kuasa ia memendam perihnya jiwa. Dengan penuh hati – hati Salya
melangkah menjauhi istrinya, menuju pintu keluar. Sampai di muka pintu, ia
kembali menoleh melihat istrinya yang masih tak bergerak dari tempatnya tadi.
Wajah itu masih terlihat sama seperti saat mereka pertama kali bertemu, polos,
tenang, namun waspada. Ia tidak bisa membayang bagaimana raut muka istrinya
nanti jika terbangun menyadari dirinya sudah tidak ada. Berada berkilo – kilo jauhnya
namun sangat ramai oleh dentingan pedang dan robohnya kereta. Tak kuasa Salya
memikirkannya. Yang ia tahu bahwa ia harus segera bergegas menyongsong
takdirnya…