Rabu, 29 Oktober 2014

Salyapharwa : Menyongsong Pusaran Karma



Dhedhep tidhem prabawaning ratri
Sasadara wus manjer kawuryan
Tan kuciwa memanise
Menggep Srinateng ndalu
Siniwaka sanggya pra dhasih
Angglar neng cakrawala
Winulat ngelangut
Prandene paksa kebegan
Saking kehing taranggana kang sumiwi
Warata tanpa sela



Sunyi senyap karena pengaruh malam
Rembulan sudah tampak berpendar
Tidak mengecewakan keelokannya
Bagaikan Sang Raja Malam
Hadir dihadapannya seluruh para kawula
Tergelar di cakrawala
Terlihat menerawang jauh
Namun demikian masih terasa sesak
Sebab banyaknya bintang yang menghadap
Merata rapat tiada berjarak

          Malam kian merambat naik. Cakrawala mulai tertutupi kubah gelap yang terlihat sangat berwibawa. Hening dan senyap seakan semua telah terbius oleh keanggunan malam. Namun ada hati yang sedang bergolak, tatapan matanya nanar, letih dan payah tak dirasakan mesti usia sudah terlampau lanjut. Raja Mandaraka dari Bangsa Madras, Prabu Salya tak jenak untuk memejamkan mata, meski disandingnya telah tertidur dengan pulas Sang Permaisuri Setyawati, sembari menggenggam erat tangan rapuh Sang Raja. Cukup lama sudah Prabu Salya berusaha membujuk dan menidurkan istrinya itu. Kembali ia teringat percakapannya dengan Sang Istri sesaat sebelum ia memasuki Tilamsari Keraton Mandaraka.

          Sore itu Raja Salya baru saja memasuki pintu Keraton ketika disambut Ratu Setyawati. Langkahnya gontai setelah seharian mengikuti rapat agung Kurawa yang sedang meghadapi Pandhawa dalam ganasnya Perang Bharatayuda. Segera saja Ratu mencium tangan raja dan mereka berpelukan.
          “ Apa gerangan yang membuat Kanda Prabu terlambat pulang ? Adakah berita besar yang Kanda bawa ? Ataukah perang sudah berakhir ? Siapakah yang menang ?  “ Setyawati mulai membuka percakapan sembari menggandeng tangan Raja memasuki Keraton. Pertanyaan itu sangat lancar mengalir dari mulut Setyawati karena  hampir setiap Raja pulang selalu itu yang ditanyakan. Ia sangat mengharapkan perang segera berakhir. Baginya Bharatayuda seperti mengiris jari berlandaskan lutut. Kedua pihak yang berperang masih kerabat, Duryudana, sulung Kurawa adalah menantunya, sedang dua Pandawa termuda, Nakula dan Sadewa adalah keponakannya.
          “ Dinda Setyawati, “ jawab Raja pelan, “ memang hari ini Rapat Agung Kurawa berlangsung lama mengingat kegentingan yang sedang terjadi. Perang semakin kejam, kekuatan Kurawa semakin menipis sementara semangat perang pihak Pandawa semakin berkobar dengan keberhasilan mereka menewaskan menantu kita, Karna. “ Menarik nafas dalam - dalam Sang Raja melanjutkan sabdanya, “ Setelah gugurnya Karna, jabatan panglima perang kosong, dan berdasarkan keputusan Rapat Agung, Kandalah yang ditunjuk sebagai panglima, jadi besok pagi Kakanda akan memimpin pasukan menghadapi Para Pandawa. “
          Setyawati tercekat. Wajahnya pucat, bibirnya kelu, langkahnya terhenti. Ia tidak mampu memandangi wajah suaminya, ia hanya tertunduk. Dipelupuk matanya terbayang, suaminya menaiki kereta perang menghunus tombak dengan mayat berserakan di setiap sudut medan perang. Ia sedikitpun tidak pernah meragukan kesaktian suaminya, dikala mudanya dulu Prabu Salya atau Raden Narasoma adalah panglima perang dan peracik strategi perang yang handal. Namun bayangan kematian tentu melingkupi seorang panglima yang sedang berperang, apalagi ini Bharatayuda, perang saudara mahadahsyat. Panglima sekelas Maharesi Bhisma yang tidak bisa mati jika bukan kehendaknya sendiri, atau Mahaguru Drona yang menguasai seluruh seni perang, atau Gatotkaca, pahlawan muda sakti mandraguna, atau Abimanyu yang kemampuannya setara dengan Arjuna, atau yang terbaru Adipati Karna yang mendapatkan perlindungan Dewa Matahari, semuanya telah gugur menjadi korban perang. Apa daya seorang Salya yang sudah berusia lanjut ?
          Melihat gelagat istrinya, Prabu Salya tanggap. Diraihnya tangan Setyawati, ia genggam erat – erat, “ sudahlah Dinda, aku tidak ingin membahas itu. “ sabdanya mencairkan suasana. Lalu ia dudukkan istrinya dan ia juga duduk persis di depan Setyawati yang tampak masih pucat.
          “ Dinda, sudah berapa lama kita berumah tangga ?” Tanya Salya.
          “ Mengapa Kakanda bertanya demikian ? “ Setyawati balik bertanya, masih tetap tidak memandangi wajah suaminya.
          “ Jawab saja Dinda Ratu “ Prabu Salya meyakinkan.
          “ Jika hamba tidak salah menghitung, kita sudah 54 tahun berumah tangga, Kanda Prabu “ jawab Setyawati pelan.
          “ Selama Dinda mendampingi Kanda, pernahkah dinda aku bentak atau aku pukul ? “
          “ Jangankan membentak, apalagi memukul, berbicara keras pun tidak pernah Kanda lakukan terhadap hamba. “ ujar Setyawati sambil membetulkan tempat duduknya.
          “ Syukurlah jika demikian adanya, persis seperti apa yang Kanda janjikan kepada Dinda ketika kita menikah dulu. “
           “ Kanda masih ingat ? “ Tanya Setyawati dengan raut muka heran. Karena sudah lebih dari setengah abad peristiwa itu terjadi.
          “ Tidak hanya ucapan yang Kanda ingat, bahkan pakaian yang kita kenakan juga masih Kanda ingat. Saat itu Kita memakai kain batik Sidomukti dan Sidoluhur. Bukan begitu ? “
          “ Persis apa yang Kanda katakan. Dinda juga masih menyimpan kain itu sampai saat ini, Kanda. Tidak pernah Dinda pakai lagi dan biarlah itu menjadi prasasti bagi kita Kanda Prabu. “ timpal Setyawati.
          Prabu Salya lalu berujar, “ Apa yang diidamkan dari makna kain itu rasanya sudah terpenuhi semua, Dinda. Perkawinan kita sudah mukti dan luhur. Mukti, Kanda dan Dinda sudah terlampau mukti mengenyam manisnya dunia. Kanda sudah menjadi raja di kerajaan yang makmur ini. Sedang kita juga sudah luhur, kita sudah memiliki 5 anak dan banyak cucu. Kelima anak kita sudah menjadi orang, Irawati sudah menjadi dipinang Prabu Baladewa dan menjadi permaisuri Mandura. Surtikanthi menjadi istri Karna dari Awangga, dan Banuwati menjadi permaisuri di Hastina mendampingi Duryudana. Sedang Burisrawa dan Rukmarata . . . “ Prabu Salya terhenti tak mampu melanjutkan kalimatnya. Ratu Setyawati pun kembali pucat setelah tadi agak mereda. Mereka berdua terdiam. Kedua anak laki – laki yang baru saja disebut namanya telah lama gugur di medan laga ketika awal Bharatayuda berkecambuk.
          Tak enak hati kemudian Prabu Salya mengganti topik pembicaraan, namun kali ini lebih ia seperti bergumam sendiri, “ Suatu kebetulan yang sangat bahwa hari lahir dan weton pasaran kita sama. Kanda lahir pada hari Selasa Wage, demikian pula Dinda Ratu, “ terdiam agak lama Prabu Salya, lalu melanjutkan “ Dinda, datang kita bersama, besok pulang juga harus bersama “
          Segera Setyawati menjatuhkan diri di pangkuan suaminya, tidak ada suara sama sekali. Hanya air mata yang deras mengalir. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan suaminya tak lebih dari kata perpisahan. Prabu Salya terdiam, ia tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia biarkan air mata Setyawati membasahi pakaiannya. Mungkin ini kali terakhir ia bisa bercengkrama dengan istri yang sudah memberinya 5 anak itu. Ada perasaan untuk mengurungkan niatnya dalam berperang esok, karena tak tega ia meninggalkan satu - satunya orang yang selama ini mendampinginya. Namun jiwa ksatrianya bangkit bergelora. Ia tetap harus maju sebagai kusuma bangsa, meski ia juga sadar pihak yang dibelanya adalah pihak yang salah. Dalam hatinya ia mengumpat akan keserakahan para Kurawa yang menjadi sebab pecahnya perang saudara ini. Tapi semua sudah terlanjur, kini ia hanya bisa memapah istrinya memasuki kedhaton dan menidurkannya di ranjang sutra. Dengan terus berusaha menghibur istrinya dengan kata – kata yang indah dan menenteramkan. Tidak menjadi penawar justru semakin deras air mata yang membasahi pipi Setyawati. Letih dan lelah membuat tangisan Setyawati berhenti dan terlelap tidur, namun tangannya masih memegang erat lengan Prabu Salya seakan tak mau dipisahkan.      
           

Myat langening kalangyan       
Lihatlah tarian bintang

Aglar pandam muncar          
Bertabur percikan api

Tinon lir kekonang           
Nampak bagai kunang-kunang
   
Surem sorote tan padhang       
Sinarnya suram tak benderang

Kasor lan pajare            
Terkalahkan cahaya

Purnameng gegana              
Purnama di angkasa

Dasare mangsa ketiga          
Saatnya musim kemarau

Hima hana weng
            
Awan penghias langit

Ing ujung ancala              
Di ujung cakrawala

Asenen karya wigena
           
Membuat hati gembira


Malam semakin larut. Pikiran Prabu Salya semakin jauh mengingat peristiwa 57 tahun yang lalu. Ketika pertama kali  ia bertemu dengan Setyawati, yang saat itu masih bernama Pujawati. Anak dari raksasa Bagaspati, meski ayahnya berwujud raksasa mengerikan, namun Pujawati berparas elok sehingga membuat Pangeran Mandaraka itu dimabuk kepayang. Kesederhanaan dan kepolosan Pujawati yang berasal dari desa, mampu memikat Salya muda, putra mahkota Kerajaan Mandaraka yang sedang mencari calon permaisuri. Keduanyapun sepakat untuk  hidup bersama dalam suka cita maupun duka lara. Namun masih ada hal yang mengganjal di hati Salya muda, saat itu masih bernama Narasoma. Narasoma, pewaris tahta yang sebentar lagi kepalanya akan dihiasi mahkota, merasa risih jika memiliki ayah mertua seorang raksasa. Tentu akan melunturkan kewibawaannya.
Dengan hati – hati ia ungkapkan itu kepada Pujawati. Ia menggunakan perumpamaan, ia ingin memetik bunga di seberang sungai, namun sungai itu dijaga oleh seekor buaya yang ganas. Apa yang harus dilakukannya ? Pujawati yang tidak tanggap dengan perumpamaan itu lalu bertanya kepada ayahnya apa yang harus dilakukan oleh si pemetik bunga itu ? Bagaspati yang sudah kenyang merasakan pahit getirnya kehidupan paham apa yang dikehendaki oleh menantunya terkasih itu. Akhirnya Bagaspati memanggil mereka berdua dan menguraikan makna dari perumpamaan yang dibuat oleh Narasoma. Artinya jika Narasoma ingin mengambil Pujawati maka ia harus mati. Namun demi kebahagiaan puteri tunggalnya ia rela menyerahkan nyawanya. Ia bersedia mahar perkawinan putrinya adalah jiwa raganya sendiri.
Tanpa sepengetahuan Pujawati, tragedi itu berlangsung, entah dengan sadar atau tidak, Narasoma menghunus keris danmenancapkannya di dada Bagaspati. Bagaspati tersenyum sambil menahan sakit, di saat terakhir hidupnya ia berpesan kepada Narasoma bahwa ia meminta Narasoma untuk sepenuh hati mencintai Pujawati, tidak menduakannya apalagi meninggalkannya. Narasoma menyanggupi, ia bersumpah untuk tidak mengambil istri atau selir lagi meskipun ia seorang raja kelak. Puas dengan jawaban Narasoma,Bagaspati menghembuskan nafas terkhirnya dengan perasaan lega setelah membukakan jalan kebahagiaan putrinya. Untuk mengingatkan agar selalu setia terhadap istrinya, Narasoma memberikan nama lain bagi istrinya yaitu Setyawati.

          Kejadian masih  itu terpahat di relung jiwa Prabu Salya, ia sadar suatu saat ia akan memetik benih yang ia tabur dahulu. Kebahagiaan yang ia miliki kini berangsur hilang. Dimulai dengan permohonan Duryudana yang tidak bisa ia tolak untuk memihak Kurawa. Yang berarti harus berhadapann dengan Pandawa. Padahal dua Pandawa termuda, yaitu Nakula dan Sadewa adalah anak dari adiknya, Madrim. Ya, ia lalu ingat kesedihan lain yang sangat mendalam. Ketika adik perempuan satu – satunya yang sangat ia kasihi harus mengalami nasib malang. Ia wafat di usia yang masih sangat muda ketika melahirkan kedua anak kembarnya, Nakula dan Sadewa. Adik yang selama ini mengikutinya kemanapun ia pergi telah pergi selamanya. Dan keponakannya yang masih orok itu sudah menjadi yatim piatu, karena ayahnya, Prabu Pandu juga meninggal tak lama setelah Madrim meninggal. Telinga Salya masih terus terngiang suara tangis dua keponakannya itu di waktu malam hari. Bayi yang sudah ditinggal mati ayah - ibunya. Hatinya makin teriris ketika mengetahui Si Kembar sejak masih kecil hingga dewasa selalu dimusuhi oleh Kurawa, beberapa kali diancam keselamatannya, diusir dari Hastina hingga direbut hak tahta kerajaan.
          Kini Nakula Sadewa ingin kembali mendapatkan haknya atas tahta Hastina, sementara ia harus membantu Kurawa mempertahankan Hastina. Bagaimana mungkin ia tega melawan dua keponakan yang sedari kecil tidak pernah meminum air susu ibunya sendiri ? Tegakah ia berhadapan dengan darah daging adiknya yang tidak pernah merasakan kasih sayang dari dirinya ? Apa yang akan dunia katakana jika ia tetap egois mempertahankan prinsipnya? Ya, ia harus merelakan jiwanya sebagai tumbal kemuliaan dua ponakannya itu, sebagaimana Bagaspati yang merelakan nyawanya untuk kebahagiaan Setyawati. Ya, esok ia harus mati. Itu satu – satunya cara agar ia tetap bisa menjaga harga dirinya sekaligus mencurahkan kasih untuk keponakannya. Semakin mantap hati Salya bahwa inilah malam terakhirnya di dunia fana ini. Memang tinggal Nakula dan Sadewalah gantungan harapannya. Dua anak lelakinya, Burisrawa dan Rukmarata telah tiada, padahal mereka yang digadang – gadang akan menyambung sejarah Mandaraka. Hatinya sangat merana, ia paham bahwa ini adalah pusaran takdir, karma dari perbuatannya.
Mèh rahina sêmu bang Hyang Aruna ,
kadi nétrané ogha rapuh ,
sabdané kukila ring kanigara ,
sakêtêr kêkidungan ningkung ,
lir wuwusing winipanca ,
papêtaking ayam wana ring pagagan ,
mêrak anguwuh ,
brêmara ngrabasa kusuma ring parahasyan arum.

     Menjelang fajar bersirat kemerahan Sang Surya ,
     seperti mata yg sedang sakit ,
     ocehan burung engkuk di pohon kanigara ,
     bagai rintihan -orang- yg sedang jatuh cinta ,
     seperti suara seruling winipanca (suling India) ,
     kokok ayam hutan di ladang ,
     suara merak mengundang ,
     kumbang menghisap bunga di kamar tidur harum (indah).

          Lamunannya terhenti ketika ia semburat kemerahan sudah menodai langit sebelah timur, ia sadar sebentar lagi ia harus  mempersiapkan diri melaju ke medan laga. Diperhatikannya wajah istrinya yang masih tertidur pulas. Sangat tenang, teduh, damai, dan anggun. Mungkinkah ini kali terakhir  melihat wajah ini ? tanyanya dalam hati. Mulailah bergantian terlintas peristiwa – peristiwa yang sudah ia lalui bersama istrinya, bertahun – tahun sudah mereka hidup bersama tanpa sedetikpun terjadi cek – cok.  Meski dengan perasaan tersayat Prabu Salya melepaskan pegangan tangan istrinya secara perlahan. Diusapnya kening Sang Ratu, tak kuasa ia memendam perihnya jiwa. Dengan penuh hati – hati Salya melangkah menjauhi istrinya, menuju pintu keluar. Sampai di muka pintu, ia kembali menoleh melihat istrinya yang masih tak bergerak dari tempatnya tadi. Wajah itu masih terlihat sama seperti saat mereka pertama kali bertemu, polos, tenang, namun waspada. Ia tidak bisa membayang bagaimana raut muka istrinya nanti jika terbangun menyadari dirinya sudah tidak ada. Berada berkilo – kilo jauhnya namun sangat ramai oleh dentingan pedang dan robohnya kereta. Tak kuasa Salya memikirkannya. Yang ia tahu bahwa ia harus segera bergegas menyongsong takdirnya…

2 komentar: